Sabtu, 29 Agustus 2009

Awal Bukan Akhir

Mobil ini terus melaju di tengah jalan hendak menuju gerbang pagar rumah ini yang cukup besar. Daun daun berwarna jingga kekuning kuningan bertebaran terbang tertiup laju mobil tersebut. Pohon rindang itu seakan melambai kepadaku, mengucapkan selamat tinggal. Aku menengok kearah belakang, kepintu rumah yang sangat besar dan mewah itu. Di tempat itu Cuma berdiri kakek dan pelayannya melambai kepadaku. Mobil melaju pelan seakan mengingatkan aku ke masa lalu. Kenapa..? kenapa ia tak ada di pintu itu..? bahkan untuk sekedar mengucapkan selamat tinggal. Aku tak minta lebih untuk bisa melupakannya. Benarkah ia sudah benar benar mencampakkan aku?.

Memoriku menelusur kembali ke masa lalu, saat aku tiba pertama kali di rumah itu. Rumah itu seakan begitu megahnya bagiku di antara kegalauan diriku yang memikirkan entah jadi apa masa depanku waktu itu. Waktu dimana aku masih terlalu polos akan diri sendiri dan waktu. Ia berada di mobil yang sama, di kursi yang sama dengan yang ku tempati. Di mobil sedan yang sama yang mengantarku datang ke rumah tersebut, juga sedan yang sama yang mengantarkanku pergi dari rumah itu.


Mobil itu masih melaju lamban. Mobil itu melewati pagar besar yang tinggi dan sangat megah itu meninggalkan kenanganku di rumah tersebut. Kenangan manis, pahit dan kenangan yang bahkan tak mau kuingat sekalipun. Aku seakan menuju hidup baru pada saat keluar dari pagar rumah itu dan berjalan di jalan besar. Menuju ke jalan tol. Aku pikir, kenapa aku harus melewati masa masaku menjadi sangat menyakitkan. Tapi jika ku pikirkan sekali lagi, lebih baik seperti ini, dari pada aku harus menjalani hidupku dengan jauh lebih buruk lagi.

Di sepanjang perjalanan aku mengenang kembali masa masaku. Masa masa di mana saat aku masih terlalu muda untuk menjalani hal hal yang membuatku merasa ingin menangis kencang. Menangis sepuasnya. Tapi, aku tau semua adalah jalan hidup yang harus ku lalui. Tuhan sudah mengatur jalanku. Kini kupikir, jalan yang sekarang kupilih adalah yang terbaik. Memang, bagi sebagian banyak orang, menghindar adalah sesuatu yang sementara dan pasti akan di hadapi juga. Namun dalam posisiku ini, menghindar dari kenyataan adalah suatu keharusan yang semua orang akan membenarkannya. Aku menjalani hari hari yang terlalu pahit bagi setiap orang. Namun bagiku, itu adalah suatu keharusan yang meski menolak, akan tetap di lakukan.
Laki laki itu memang telah mengubah hidupku menjadi benar benar hancur. Namun aku berpikir di awal, ia akan mengubah hidupku, ya, merubah hidupku. Tapi, memang benar, namun bukan menjadi lebih baik dari sisi kejiwaan ku, tapi jauh lebih di latih untuk patuh, meski harta sangat berlimpah ruah, namun perasaan ku sudah terlalu kacau. Membuatku jera akan kenyataan. Jera akan waktu, dan jera akan perasaanku sendiri. Sudah cukup aku berbohong, sudah cukup.


*************************


Aku teringat kembali masa masa ku, masa masa dimana karena hutang, ibu menitipkanku di panti, sampai ia terbunuh oleh hutang yang tak ia tebus itu sendiri. Aku sedih, tapi, aku harus bagaimana..? itulah pertanyaanku. Tapi, panti tidak selalu baik. Panti itu bangkrut, aku jadi anak jalanan. Benarkah nasibku seberuntung itu hingga seorang wanita muda yang entah untuk kasihan atau uang mengankat aku menjadi angkatnya. Meski hidup pas pasan, ia seperti begitu giat bekerja yang menurutku aneh. Pergi siang, sampai pagi kembali lagi. Entah apa yang ada di kepalanya waktu itu, tapi, saat aku sudah beranjak dewasa, 18 tahun, ia mulai mengurungku di kamar. Kadang aku di beri makan, kadang tidak, aku tak tau apa yang terjadi, tapi yang pasti, di luar ku dengar serasa sangat ribut. Saat itu, aku di tarik paksa keluar ruangan itu. Mataku serasa silau, karena sudah lama sekali tidak melihat cahaya. Remang remang. Aku di bawa ketempat rias dan mereka mulai melakukan sesuatu pada wajahku, aku Cuma bisa diam karena diancam. Setelah itu aku di masukkan ke suatu ruangan. Aku sadar, menurutku, aku pasti akan jadi pelacur atau apalah itu yang mengenai hal tersebut. Aku sudah cukup dewasa untuk mengetahui hal tersebut. Aku merasa gemetar dan gugup. Akan seperti apa aku nanti. Itulah yang ada di pikiranku.

Ketika pintu di buka, aku di dorong begitu saja. Aku terjerembab. Di hadapanku, ada sepatu hitam mengkilap. Aku tau sepatu itu mewah meski aku di dorong hingga tersungkur. Ketika aku bangun dari jatuh, itulah takdirku sekarang. Aku melihatnya. Sosok itu berada tepat di depanku. Pertama kali melihatnya, aku seperti terpesona. Sangat terpesona akan kenaggunannya. Tapi, kemudian aku berpikir, tidak mungkin seorang pria terhormat mengunjungi ku. Dia seakan menatapku lurus. Pria yang rapi di sampingnya kemudian bicara dengannya. Ia mengangguk dan kemudian pergi. Aku sedikit lega saat ia pergi. Namun, kemudian aku di seret ke mobil. Aku di beri tas yang berisi semua pakaianku. Kemudian aku di suruh masuk dan bertemu laki laki tersebut. Ia memperkenalkan namanya.

Dior. Itu namanya. Nama yang membuatku seakan ingin menghentikan waktu. Nama yang membuat aku melewati masa masa kenangan masa laluku kembali. Nama yang membuat aku ingin pergi lebih jauh. Ingin memulai dunia yang kutinggalkan itu menjadi lebih baik. Aku pergi setelah ia kecewakan aku. Setelah ternyata ia membawaku kesana dengan maksud memperkenalkan aku kepada kakekku. Ayah dari Ibuku yang sudah tiada. Saat itu kakek begitu gembira. Bertemu aku. Ia mencariku kemana mana, dan untungmya wanita itu tau asal usulku. Aku senang, aku ternyata punya keluarga. Sampai aku tau, ibuku kabur dengan seorang pelayan karena takut tidak di restui. Ibuku tak mengatakan hal itu pada kakek, namun, jika seandainya ibu saat itu berani mengatakan hal itu, maka, kakek akan tetap merestui. Tapi, sepertinya ibuku mengambil hal lain dan main kabur sendiri. Dia lebih memilih hidup yang penuh hutang dari pada tanpa ia sadari, kakek setuju setuju saja dengan hubunganya dengan ayahku. Satu hal, ibuku waktu itu benar benar bodoh, dengan meninggalkan kakek.

Aku di tunangkan dengan Dior, anak angkat kakek, anak dari teman dekatnya yang telah meninggal. Kakek sangat menyayangi Dior, ia pun juga sangat menyayangi aku. Ia ingin mempersatukan aku dengan Dior, aku terlalu bodoh waktu itu sehingga senang. Aku tak tau apakah ia senang atau tidak. Namun, seiring berjalanya waktu, ia mulai menyatakan perasaannya. Ia mengatakan, ia mencitaiku. Namun, kebahagiaanku selalu dan selalu saja semetara. Sampai saat Dior berpaling dariku, memilih Rika. Anak dari seorang pengusaha terkenal yang baru berkenalan dengan Dior. Dior pun sepertinya sangat menyukai Rika. Terlihat dari pandangan matanya yang lembut. Tapi, ia memandangku berbeda. Ia seperti memandangku dengan pandangan muak, dengki dan bosan. Aku tak tau aku mempunyai salah apa.. aku tak tau. Ia benar benar sudah mencampakkan aku. Ia meninggalkan aku demi Rika. Aku coba sabar, kupikir, Rika orang yang baik, namun, tanpa sengaja aku tau, ia benci Dior dan ingin menghancurkan karirnya serta segalanya. Saat kuberitahukan hal tersebut, Dior begitu marah padaku dan menganggap aku orang munafik. Aku sedih, Aku marah, aku benci, aku ingin menagis, aku pusing dengan semua ini. Semua sudah cukup. Kakek selalu menyabarkan aku. Aku selalu mengadu tentang masalahku kepada kakek, dan ia selalu menenangkan aku lagi.


Sudah terlalu banyak masalah. Aku memberanikan diri bicara dengan Dior. Berusaha baik baik memberitahukannya, tapi, cinta Dior kepadaku sudah benar benar pudar dan berubah menjadi kebencian. Ia seperti sudah di racuni dan mencampakkanku begitu saja. Aku mau seperti apa lagi..? berbagai cara kutempuh menyadarkanya, namun semakin hari, ia semakin membenciku. Tapi, tanpa di sadarinya, ia sedikit demi sedikit telah di hancurkan oleh Rika. Aku memang harus menyerah dan melihat bagaimana kedepannya, sampai suatu saat ia tau hal yang sebenarnya. Saat, dimana ia akan kembali mengejarku. Namun, ia juga harus tau rasanya di campakkan oleh orang yang dicintainya.

*******************
Tiba tiba saja, tanpa kusadari, aku sudah sampai di bandara aku seakan menunggu ia datang dari belakang dan mencegatku pergi. Tapi, sepertinya itu Cuma khayalanku. Karena, hingga sampai lepas landas pun, aku tak pernah melihat sosoknya.

Aku terbangun dari tidurku saat seorang pramugari membangunkanku memberitahukan bahwa akan segera sampai. Agak berat membuka mata ini. Tapi, ini bukan hari hari burukku lagi, melainkan hati yang baru bagiku. Jepang. Kota yang sejak dulu ingin ku tinggali, akhirnya akan kutinggali juga. Kuhirup udara di sana. Hah… udara baru dan suasana baru. Saat aku sampai, itu adalah saat musim gugur yang lumayan dingin. Aku sedikit menggigil meski memakai jaket yang bisa di bilang lumayan tebal. Mungkin karena kurang terbiasa.
Kunaiki taksi. Kulihat sekeliling., namun, seakan, semua orang, seperti mengingatkan aku padanya. Kucoba tepis angan anganku dan menyadari hidupku. Kenyataan hidupku yang dulu, akan kusimpan rapat. Hidup baruku akan kumulai dengan lebih baik.
Aku mempunyai sahabat di sana, temanku, sekaligus tetanggaku, Harui dan Sakamoto-san. Mereka orang orang yang baik dan ramah. Aku cukup senang dengan hari hariku di sana yang kujalani dengan tenang dan penuh canda tawa. Tak pernah ku bayangkan aku akan bisa hidup seperti ini. Akupun cukup menikmati kehidupanku sebagai seorang mahasiswi di salah satu Universitas di sana, meski memang, aku perlu adaptasi.

*************************

Hari hari kulalui. Musim berganti musim dengan cepat. Tahun mulai berganti. Tak terasa, sudah 4 tahun aku meninggalkan negaraku. Aku duduk dengan santai di cafe sambil membaca buku, menikmati segelas kopi hangat bersama dengan Asahiro, orang yang membuat hidupku kini berarti. Ya, ia adalah kekasihku di negeri sakura ini. Ia tak tau masa laluku yang dulu. Ia seakan memberi penerangan yang baru bagiku. Dan, kupikir saat itu adalah saat yang indah. Tapi sepertinnya tidak.

Hp ku berdering. Tanpa rasa ragu, sambil tersenyum, aku mengankatnya. Dan aku tau itu dari paman, pelayang kakek yang tak terlalu bisa berbahasa jepang. Aku sedikit menjauh dan memojok. Lalu aku berkata.
“ada apa paman? Kok tumben telepon? Ada masalah?” kataku dengan lembut. Aku tak perlu khawatir Asahiro tau, ia tak begitu mengerti bahasaku.
“ia non, kakek nona sakit parah, dia sebut sebut nama nona terus.. saya enggak bisa berbuat apa apa.. jadi, saya telepon nona supaya nona tau dan mau pulang sebentar saja ke Indonesia non.. kasian kakek non.. sebut sebut nama non terus, pengen ketemu katanya..” dengan suara sendu, paman berkata.
Aku seakan tak kuasa mendengar hal tersebut. Rasa ragu dan khawatir berkecamuk di diriku.
“ia.. saya bakalan langsung ke sana paman. Beberapa hari lag, saya bakalan ke sana, paman tenang saja..” aku berkata begitu nekatnya menyatakan akan kembali ke sana. Tapi aku tau, semuanya sudah berakhir dan aku bisa tenang ke sana.
Tanpa perasaan ragu, Aku kemudian pergi. Asahiro mengantarkan ku kebandara. Ia tak ikut karena studinya, padahal aku ingin memperkenalkannya.

******************

Kembali bagiku sekarang bukan hal yang sangat ku takuti. Tidak seperti tahun tahun sebelumnya. Aku sudah bisa menerima dan siap seperti apa jadinya. Aku tak akan takut lagi. Aku tak akan ragu lagi.

Saat mobil itu menjemputku, aku seperti mulai ragu. Namun kutegarkan diri. Aku tau, aku harus selalu siap. Siap untuk apapun yang akan terjadi nanti. Aku sudah punya orang lain yang kucintai, Asahiro, bukan Dior. Bukan laki laki yang mencampakkan aku, melainkan laki laki yang mencintaiku. Aku di terpa perasaan cemas memikirkan kakek saat melewati gerbang tinggi tersebut. Mobil terus melaju melalui rimbunan daun berwarna jingga kemerah merahan yang berjatuhan di jalan setelah masuk gerbang. Kemudian di antara rimbunnya pohon pohon tersebut, nampak bangunan yang sangat megah. Masih tetap semegah saat aku tinggalkan dulu. Aku kemudian membuka puntu mobil. Kulihat pintu masuk ke rumah tersebut. Begitu besarnya. Bahkan lebih besar dari pintu rumah manapun dan sangat tinggi. Perlahan, saat aku menginjak anak tangga tersebut, pintu terbuka, memperlihatkan isi dari rumah itu yang seakan dingin dan kosong, padahal, penuh dengan barang barang mewah, mahal dan bernilai seni tinggi .

Aku langsung berlari kearah kamar kakek. Kudapati kakek terbaring lemah di ranjangnya yang sangat besar di silaukan oleh matahari sore yang jingga terpantul di jendela kamar kakek yang sangat besar. Aku duduk di samping kakek. Kupegang erat tangannya. Ia menyebut namaku.

“Aria.. apakah itu kamu..? kakek kangen sama kamu..” kata kakekku dengan suara lirih. Aku tak kuasa menahan tangis.
“ia kek.. Ini Aria.. Aria udah pulang kek.. buat kakek..” aku mencoba menahan tangis.
“kakek.. senang melihat kamu lagi.. kalau begini.. kakek bakal punya semangat hidup kalau kamu kesini Aria..” kakek berusaha tersenyum.
“kakek janji bakalan sembuh.. buat Aria.. Aria sebentar aja di sini kek.. makanya, kakek cepet sembuh ya..?”
“kakek merasa udah sembuh kalau lihat Aria.. cucu kesayangan kakek.. kita bakalan buat pesta kedatangan kamu.. sekaligus pemberitahuan kakek udah sehat lagi Ya..” kata kakek lirih. Kakek seperti sekuat tenaga sembuh. Demi aku yang Cuma datang beberapa hari karena harus menyusul study di Jepang.

*****************

Malam itu, aku memakai gaun pesta kesayanganku yang tak pernah ku pakai karena terasa sangat sayang untuk di pakai. Namun, sekarang, gaun itu terasa ingin ku pakai. Pesta di mulai. Aku belum juga berani keluar kamar. Aku seperti di serang perasaan masa lalu. Aku takut melihat wajah Dior lagi. Aku coba dan akhirnya berhasil menggantinya dengan bayangan tentang Asahiro.

Ketika namaku di sebut, maka aku keluar. Semua memandangku. Aku tersenyum ramah dan mengatakan supaya menikmati pesta ini. Aku tak terlalu suka orang banyak. Namun aku harus berkenalan dan berjalan jalan melihat tamu. Dan tanpa sadar, aku bersenggolan dengan seorang pria. Aku mengucapkan maaf, namun, aku terlanjur menengok pria tersebut. Alangkah terkejutnya aku. Dia Dior. Aku merasa perlu tersenyum kepadanya. Kemudian aku pergi menuju tempat favoritku. Di tepi kolam, ada ayunan terbuat dari kayu. Aku duduk menatap bintang di sana.
Tanpa ku sadari, Dior menghampiriku.

“sudah lama kita enggak bicara ya..?” dia membuka pembicaraan.
Aku menengok kebelakang. Sepertinya ia sedikit kecewa dengan ekspresiku yang datar saja.
“kamu masih sama Rika..?” aku langsung memberanikan diri menanyakannya.
Ia malah menggeleng.
“aku menyesal menuduh kamu macam macam. Kamu benar. Aku udah benar benar terperdaya oleh Rika.. dia udah hancurin segalanya dari aku” katanya putus asa.
“aku turut menyesal..” aku sudah tak tau mau mengatakan apa lagi. Pikiranku sudah buntu saat mulai bicara dengannya. Aku terlalu gugup saat bersamanya. Kenangan masa lalu kemudian mulai menerjangku lagi.
Aku tak tau harus berbuat apa lagi. Kemudian aku meninggalkannya. Samar samar memang, tapi ku dengar ia mengatakan.
“aku mencintaimu Aria”
Aku berkata dalam hati, “mudah sekali kau ucap, Dior”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar