Di tatapnya pintu dalam dalam. Ayolah.. aku sudah di buat menunggu ribuan kali.
Saat keputus asaan mulai menyerebak keluar, kejutan terjadi. Dia datang.
Tian menghampiri Cherry dengan nafas tersengal. Ia kelihatannya buru buru ke sini.
“masih nunggu, kamu?” masih berdiri dengan nafas tersengal, Tian menatap Cherry kesal.
“Tian, akhirnya kamu datang juga..!! aku udah nunggu kamu lumayan lama loh! Tapi enggak apa, kamu datang aja aku udah seneng banget! Ayo duduk!” Cherry menyambutnya dengan suka cita. Akhirnya muncul juga.
“aku kan udah bilang, kalau udah satu jam kamu nunggu akunya belum datang, udah pulang aja! Nanti aku repot!” dengan wajah kesal Tian duduk menyampingi Cherry.
“kamu bilang gitu, tapi toh aku tunggu tiga jam kamunya datang juga kan? Aku rela kok nunggu kamu lima jam kalo perlu!” Cherry tersenyum gembira menatap Tian. Sedang Tian sendiri terlihat ogah ogahan dan BT.
“Ia, soalnya kamu orangnya seperti itu! Aku repot! Sudah berapa kali kan aku bilangnya! Aku sibuk! Cari kerja tambahan, sukur sukur aku mau datang! Aku capek !” mengadu lelah adalah kebiasaan Tian jika mereka janjian bertemu. Dan yang pasti Cherry sudah hafal telak.
“ia.. maaf. Udah, kamu makan aja dulu.. aku udah pesan tadi.. kamu?”
“aku bawa pulang aja, mau buat Ayu” lagi lagi Tian ngeles dan buru buru. Tapi saat mendengat nama Ayu, Cherry udah pasrah.
“ia.. kalau kamu mau bawain buat Ayu udah aku siapin kok! Tenang aja.. kamunya dong! Kamu itu makannya aja enggak teratur. Kamu maag kan? Sekali kali lah kamu juga, enggak buat Ayu terus..” Cherry mengusap pipi Tian. Wajahnya memang lembut, namun terasa gurat kelelahan di wajahnya.
”wajar lah aku merhatiin Ayu! Dia adik aku! Dia sakit, enggak kayak aku yang sehat, kalau bisa juga aku mau di tukar sama dia” dengan mendesah dalam, Tian menatap Cherry.
“kalau kamu yang sakit, bukan hanya Ayu yang susah, aku juga bakalan sedih” di tatapnya Tian dengan tak bergeming. Ia merasa simpatik dengan kekasihnya itu.
“dari awal yang ngeres minta jadi pacar itu kamu!” Tian membentak meja dan menatap Cherry tajam.
Cherry Cuma bisa menghembuskan nafas dalam dalam. Ya, dialah yang tergila gila dengan Tian. Dialah yang meminta Tian menjadi pacarnya meskipun cowok itu ogah ogahan dan sibuk berat.
“kita di sini mau makan bareng, bukan buat bertengkar, oke?” dengan senyumnya Cherry mulai mencairkan suasana.
“kamu aja” sekali lagi Tian mulai marah.
“Tian.. ayolah.. please..”
“aku BT! Udah, kita pulang aja, aku buru buru mau kerja!” ia mulai beranjak dari tempat duduknya. Dengan pasrah, mau tak mau Cherry mengikutinya. Tian tidak bisa di ajak kompromi.
Setelah keluar dari restoran, mereka menuju parkiran.
“aku antar kamu pulang” sembari menyodorkan helmnya, Tian bergumam. “repot”
Sekali lagi Cherry menghela nafas dalam.
Di peluknya Tian dan ia menyanndarkan kepalanya di pundak Tian. Perjalanan hening tanpa obrolan.
Berpacaran dengan Tian tak seindah bayangan Cherry. Tian super sibuk, kerja sampingan di mana mana, hampir tak punya banyak waktu. Ia juga harus menjaga adiknya yang di rawat di rumah sakit karena jantungnya lemah. Tian bukan anak orang kaya. Ia hanya berdua dengan Ayu, adiknya sematawayang. Terbukti juga dari kendaraannya yang bukan keluaran terbaru maupun yang bagus, namun Vespa butut kreditan yang sering rusak. Sikapnya dengan Cherry pun selalu cuek dan terkesan ogah ogahan. Namun entah kenapa saat melihat Tian, Cherry langsung suka banget.
Apakah ini yang namanya love at first time?. Yah memang kalau di perhatikan baik baik, wajah Tian memang ganteng banget. Apalagi badannya juga bagus. Tapi kesan Tian adalah orang yang ogah ogahan dan labil. Tian sifatnya keras dan tak bisa di ajak kompromi. Semaunya dan terbawa emosi, kadang malah bisa ngamuk. Permasalahannya pun seabrek. Susah membayangkannya.
Tapi yang menjadi tanda tanya besar, KENAPA CHERRY SUKA SAMA TIAN??. Secara Tian Cuma modal tampang terselubung yang tak bisa di lihat orang awam. Tapi, Cherry sudah kepalang cinta, mau di apakan lagi?. Tian pun orangnya terserah aja.
Cherry tersenyum sendiri memikirkan Tian yang ada di hadapannya. Sedangkan orangnya sendiri cuek bebek. Tak ada kata kata mesra atau istilah romantis pada Tian. Yang ada adalah perasaan buru buru dan kadang jengkel jika di ajak kencan.
Mereka memasuki kawasan komplek di Kemang. Di sanalah Cherry tinggal. Tian memberhentikan Vespanya di depan sebuah rumah bercat cokelat. Cherry turun dengan ragu ragu.
“Tian, nanti aku kapan kapan ke tempat Ayu ya?" sambil tersenyum.
“terserah kamu” ia menjawab seadanya. Membuat hati Cherry miris mendengarnya.
“kamu tu, yang bersemangat sedikit dong bilangnya, kayak enggak ada jiwanya..”
Tak ada kata kata dari Tian. Ia hanya diam menatap Cherry.
“Tian..?” ia Cuma pasrah dengan sikap Tian.
“udah larut malam, cepet kamu masuk. Nanti kamu kena masalah” dengan nada memerintah Tian kemudian menyalakan motornya.
“mama dan papa enggak pulang selama seminggu ini kok.. di rumah juga aku sendirian. Paling sama Bik Idah”
“temenin dia! udah, aku buru buru.. kamu cepet masuk..!” Cherry medengarkan kata katanya dan tak bisa apa apa. Ia masuk rumahnya dan menutup pintu. Di lihatnya di jendela Tian pergi dengan Vespanya itu.
Dengan perasaan jengkel dengan diri sendiri, Tian melajukan Vespanya dengan kencang. Ia masih punya pekerjaan yang harus ia lakukan. Ia menyempatkan waktu sebisa mungkin untuk bersama Cherry, namun ia jengkel dengan dirinnya yang bukannya memuji Cherry, malah bersikap dingin. Sesampainya ia di halaman parkir sebuah gedung, ia buru buru berlari menuju pintu belakang gedung itu.
Namun ketika hendak membuka pintu ruang ganti kerjaannya, Tian di hadang seorang pria dengan wajah sangar.
“tumben ya kamu telat, kita kelabakan nih!” pria itu membukakan pintu untuk Tian dan sama sama masuk ke ruangnya staff itu.
“sorry, ada urusan penting Jef, lain kali aku enggak bakalan telat lagi deh!” dengan buru buru ia memasang baju kerjanya dan berjalan cepat memasuki sebuah ruangan.
Hingar bingar suara musik gemerlapannya diskotik mulai membahana. Dengan perasaan diburu, Tian memasuki area kerjannya. Menerima pesanan minuman beralkohol dari tamunya.ya, dia bekerja sebagai waiter di sebuah diskotik besar di pusat kota Jakarta. Tentu ini Cuma salah satu dari puluhan pekerjaan sampingannya.
Seorang wanita muda mendekati meja Tian dan memesan minuman.
“Tian, yang biasa ya, Kir” wanita yang setengah mabuk itu menengadahkan wajahnya di hadapan Tian.
“tumben telat? Biasanya kamu jam sembilan juga udah standby kan? Kenapa?”
Ia duduk dengan sedikit oleng.
“ada kerjaan lain” dengan sigap, Tian menuangkan minuman itu.
“apa?.. kuli wortel? Heh… jangan bercanda deh~! Enggak lucu! Hahaha…” wanita itu terkekeh dengan sempoyongan.
“Elvira, kamu sudah mabuk..” Tian meletakkan secangkir kecil bir untuk Elvira. Ia menghawatirkan pelanggannya yang satu ini.
“Tian sayang, jangan jangan kamu sama pacarmu itu ya..? apa janjian kencan? Tumben..”
“ia..” sembari menuangkan pesanan lain, ia mendengarkan gumaman Elvira di tengah hingar bingar musik
Tiba tiba Elvira menarik kerah bajunya, ia berdiri dan mencondongkan badannya dekat dengan Tian.
“Tian sayang, kamu itu polos banget deh..” nafasnya berbau alcohol yang tajam.
Sudah menjadi resiko jika mereka memang di perlakukan seperti itu kadang dengan pelanggan. Apa lagi Elvira yang memang temannya.
Seorang laki laki menarik Elvira.
“ayo pulang, kamu udah mabuk sampai mau bikin susah waiter!” ia membopong Elvira menjauh.
Tian sibuk dengan pesanan. Namun kemerlapan musik itu akan bertahan lama di telinganya. Menghilangkan kantuk dan menyisakan lelah.
Bulan mulai meredup dan cahaya mulai memenuhi langit. Pagi jam 5 Tian bengambil helmnya menuju parkiran. Pekerjaannya selesai dan ia harus tepat waktu untuk pekerjaan selanjutnya. TiiT TiiT.. suara dering Hp memecah keheningan parkiran.
Tian menatap SMS dari Cherry.
Tian, lain kli jln brng lg y! qm aj yg nentuin kpn qm bs. Nti mlh gngu ky smlm lg.
.Cherry
Rasa kecewa mulai memasuki hatinya. Ia merasa kecewa dengan dirinya sendiri. Cherry sudah begitu baik dengan dirinya. Sedang dia sendiri bersikap ketus. Padahal Tian ingin terus terang kalau dia bahagia kalau dekat dengan Cherry. Namun ia bukan orang yang mudah berterus terang.
Vespa itu melaju kencang. Jalan sudah mulai ramai. Kehidupan di Jakarta mulai hidup lagi. Bahkan di pagi pagi buta seperti ini. Tian merapatkan Vespanya di halaman rumah. Rumah itu kecil dan tua, di dalamnya hanya dua kamar dan sempit. Di tempat kumuh itulah Tian tinggal.
Ia menghempaskan badannya ke tempat tidurnya yang sudah reot. Kemudian ia bangkit dan mengambil kotak kecil di bawah kasurnya. Kotak kecil berisi uang. Kemudian ia mulai menghitungnya satu persatu dengan teliti. Peluh menetes dari tubuhnya yang kelelahan. Ia hampir tak tidur semalaman. Tiba tiba ia mendengar pintunya di ketok. Cepat cepat uang itu di simpannya lagi kemudian pergi membuka pintu.
“Abang.. tumben datang pagi Bang? Ada apa Bang Uji datang?” Tian mempersilahkan laki laki besar dan tegap itu masuk rumahnya dan duduk.
“Iya, gua mau nagih janji loe. Katannya hari ini loe bisa bayar.. mana?” Bang Uji menengadahkan tangannya di hadapan Tian.
“bentar Bang, aku ambilkan. Tapi enggak apa kan Bang? Aku Cuma punya tiga ratus doang. Itu juga aku udah enggak punya uang lagi..” kemudian ia bangkit dan masuk ke kamarnya.
“jangan lupa bunganya Yan! Gua nagih sepuluh ribu aja bunganya..”
Tian kembali dengan membawa segumpal uang dan menaruhnya di hadapan Bang Uji. Melihat uang yang banyak itu, ia langsung bergegas meraupnya.
“enggak kurang kan ni Yan? Plus bunga?” ia menatap Tian ragu.
“tapi aku udah enggak punya uang lagi Bang! Cuma lima ribu! Makan apa aku.. masa minjam dari Abang lagi?”
Bang Uji menimbang nimbang perkataan Tian.
“ya udah, kapan kapan loe kirimin makanan aja.. kalau mau ngutang, bilang gue aja lagi!” Bang Uji menyalakan rokoknya. Tian dengan sigap menyodorkan asbak kepadanya.
“ngomong ngomong loe kerja apaan buat si Ayu? Kayaknya loe sibuk banget!”
“yah.. banyak lah Bang..” Tian tersipu dan kemudian menarik nafas dalam.
“jaman kayak gini orang kayak elo bisa di terima di kota.. “ sambil menatap curiga kepada Tian.
Tian Cuma diam seribu bahasa. Ia tak ingin menjawab apa yang ingin di maksudkan oleh Bang Uji. Suasana hening sejenak. Kemudian Bang Uji berdiri dan menuju pintu.
“Gimana Ayu? Udah baek belum? Bini gue rada khawatir.” Sembari memasang sepatunya lagi.
“baek Bang! Yah.. walau masih kayak gitu aja..”
“ya udah. Gue pulang, titip salam buat Ayu” kemudian ia pergi dan hilang di sudut rumah rumah yang berhimpitan.
Sebenarnya Tian malas melayani Bang Uji. Bang Uji baik kalau Cuma hutang di bayar, kalau tidak dia akan beringas dan memporak porandakkan isi rumah Tian. Sama seperti kebanyakan rentenir lain.
Ia mengunci pintu dan kembali ke tempat tidurnya. Tidur, walau hanya sebentar.
To Be Continue.. XD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar