Our First Love
“Secret”
Tina sedang duduk sambil mengeluh bosan. Pelajaran Sejarah. Semua sibuk mengerjakan tugas kelompok. Ia sudah selesai terlebih dahulu.
“Hey.. aku boleh melihat jawabanmu..? ayolah.. kita kan satu kelompok..?” Ruth menatap Tina penuh harapan.
“Baiklah.. tapi ubah sedikit jawabanmu itu.. nanti dicurigai..”. Yang ia lakukan cuma mendesah. Heran. Padahal, Ruth termasuk anak pintar, mau maunya dia minta jawaban dari Tina yang sudah jelas pasti ada salahnya.
“Oh.. Thanks!”. Gadis itu tersenyum manis.
Ia kemudian memandang keluar kelas. Matanya tertuju pada ambang pintu kelas. Seolah sedang memperhatikan sesuatu. Matanya ingin menutup, tapi ia tau, ia tidak mengantuk sama sekali. Tina mendengar seseorang sedang berjalan hendak melalui pintu kelasnya. Tanpa sadar ia mendongak begitu saja memandang siapa yang datang. Sesaat sosoknya menarik Tina untuk ingin menatapnya. Merasa terkejut dengan dirinya sendiri. Orang itu menengok kearah kelas dengan lurus. Kemudian memalingkan wajahnya lagi. Dan berlalu begitu saja melalui kelas Tina menuju ke ujung lorong. Siapa orang itu? Tina tau ia tak pernah melihatnya sebelumnya. Padahal, sudah lebih 2 bulan ia duduk di kursi itu menikmati suasana bangku Lower Secondary School yang orang bilang sudah masanya menjadi remaja. Dan tentu saja, ketika melihat sosoknya, Tina terperanjat. Dalam hati ia bertanya, siapa laki laki itu. Dan mengharapkannya. Satu pintanya, Tina harap ia dapat melihatnya lagi.
Tina menatap jendela di samping tempat duduknya. Jam istirahat dan tak ada orang. Merasa bosan, ia memandang ke jendela. Ia melihatnya. Melihat laki laki itu lagi. Lapangan basket tepat ada di seberang kelasnya. Hanya dengan sekali menengok ia bisa melihat lapangan basket sekolahnya yang luas. Tina memandangnya. Meski ia tak bermain sangat bagus, namun cukup membuat Tina terpesona. Matanya seakan tak bisa lepas dari laki laki itu. Matanya entah kenapa selalu ingin melihat dia.
“Tina.. nih aku bawa kan makanan.. kamu enggak jajan kan..?” Debbie tersenyum lembut. Ia menghawatirkan sahabatnya. Ia memang jarang sekali keluar kelas minggu minggu ini. Padahal, biasanya Tina lah yang selalu paling pertama keluar kelas ketika jam istirahat. Tina cuma memandang ke jendela kelas. Ia tak mengatakan apapun. Debbie melihatnya bertatapan kosong.
“Are you OK Tina..? kelihatannya sakit.. kok jarang keluar sih..?” Debbie menatap Tina lekat.
Sesaat gadis itu tak menjawab dan asyik dengan pikirannya sendiri.
“Tina!” Debbie berteriak kencang di hadapan Tina. Ia terlihat kaget.
“Apa..?” Tina menjawab lemas. Namun ia menatap Debbie lurus.
“Kamu tidak mendengar apa yang aku katakan…? What’s wrong with you? Sakit? kau terlihat berbeda..” ia ingin tau ekspresi Tina.
“No.. no.. I’m fine..” tangannya menopang dagunya. Kemudian mereka menatap lapangan basket. Debbie memperhatikan dengan seksama. Anak laki laki bermain bola basket. Apa yang istimewa? Pastilah Tina memikirkan hal lain, itu pikirnya.
Tina cuma menatap lapangan. Matanya benar benar tak bisa lepas dari sosok laki laki itu. Sudah entah berapa lama Tina memandangnya. Ia bahkan tak sadar tadi Debbie menyapanya.
“Hey Tina.. coba lihat Kak Christ.. dia bermain bagus kan..? ku rasa sudah saatnya dia menjadi kapten klub basket.. bagaimana menurutmu..?” kali ini Debbie mencoba membuka pembicaraan lagi.
Kali ini, Tina benar benar mendengarkannya.
“Menurutku biasa saja..” terlintas ide dari benak Tina. Dia rasa Debbie tau siapa nama laki laki itu.
“Hey.. dia itu mainnya payah sekali.. siapa sih dia..? lucu. Passing saja tidak bisa..” dalam hati Tina memaki ide nya.
“Mana..?” Debbie mencari cari sosok yang di sebutkan Tina.
“Yang pakai Handband warna putih itu..” katanya menunjuk laki laki itu.
“Dia..?” sambil menunjuk laki laki itu. Ia tidak menduga reaksi Debbie.
“Ya.. lucu.. mainnya jelek.. siapa tau aku bisa mengejeknya..” kata kata itu meluncur begitu saja. Tina membenci mulutnya sendiri. Bisa bisanya ia menghina, padahal jelas jelas Tina selalu memandangnya.
“Jangan menghina seperti itu! Biar begitu, dia itu popular loh di sekolah kita! Memangnya kau tak tau apa..? katanya dia sempet loh nanyain Ruth.. soalnya waktu ujian masuk, dia ada di peringkat 4, sedang Ruth ada di peringkat 3! Menurutmu mereka cocok tidak..?” kata kata Debbie benar benar membuat hati Tina panas.
“Kemudian..? siapa namanya?” sekarang Tina semakin antusias.
“Masa’ kau tak tau..? banyak loh yang suka sama dia.. gantengkan orangnya..? pintar lagi.. katanya ia paling susah di taklukkan.. pangeran Cool sih..” terlihat dari sorot mata Debbie, dia tau Debbie juga salah satu dari orang orang tersebut.
“Aku tidak menanyakan itu. Aku sama sekali tak tertarik dengannya. Aku cuma mau cari topik pembicaraan.. terus..?” Tina berhasih berkilah. Ia tak akan mau mengakui hatinya.
“Dia anak kelas 1-7. yang di ujung koridor sana.. banyak kelebihannya. Dan yang pasti dia anak baik baik..” Tina tidak tahan dengan ocehan Debbie.
“Siapa Debbie..?” katanya lagi.
“Harry.. Harry Andrian Bilshton.. kenapa kau begitu ingin tau namanya..?” kali ini Debbie menanyakan hal yang membuat Tina berpikir dua kali lipat menahan malu mencari alasannya.
“Bosan saja.. ada topic lain..?”
Tina benar benar sudah tak bisa menahan rasa malunya jika ketahuan memperhatikan anak laki laki itu. Tina senang ia tau nama anak itu setelah berminggu minggu tak tau namanya.
“Enggak ada.. sore ini kau ada acara..?” Debbie selalu telihat antusias jika bertanya.
“Enggak ada.. Boring.. kenapa..?”
“Jalan jalan yuk!” gadis itu menatap Tina penuh harapan.
Tina cuma mendesah panjang. Namun ia bahagia. Setidaknya ia tau nama laki laki yang menarik perhatiannya itu. Tina tau meski ia polos. Harry.. hanya dengan mendengar atau mengucapkan dalam hati nama laki laki itu, hatinya sudah merasa sangat bahagia. Senyum sendiri dan berkhayal memang rutinitas Tina. Namun kali ini berbeda. Ia memilikinya nyata. Namun Tina masih terlalu kekanakan untuk mengakui perasaannya.
“Jose.. sedang apa kamu..?” Tina menegur Jose yang sedang termenung di jendela. Kelas lumayan ramai. Pak Gere tidak masuk, pelajaran kosong membuat kelas jadi riuh.
“Memangnya sedang apa..?” jawabnya ketus.
“Wow.. kenapa..? kesal..? aku kan cuma menegur mu..” Tina menyunggingkan senyum. Membuat Jose melunak.
“Aku tau Tina..” ia terlihat tak bersemangat di mata Tina. Namun kekhawatiran Tina terhadap Jose menghilang. Matanya menemukan sesosok orang yang menarik mata dan pikirannya. Ia cuma memandanginya. Ia tak mendengar ocehan Jose.
“Kau mendengarku..?” tiba tiba wajah Jose tepat ada di depan Tina. Ia tersentak.
“Ya..”
“Tapi kau tak terlihat sedang mendengarkanku” alis Jose mengerut tanda curiga.
“Kau pikir aku kemana jadi tidak mendengarkan omonganmu..?” Tina mendelik mesra kepada Jose. Tina terbiasa melakukannya kalau terpaksa. Jose mulai jujur.
“Illiana tak terlalu merespon aku akhir akhir ini.. katanya terlalu sibuklah..aku kan mau bertemu dengannya.. aku paling tidak punya rasa rindu..” Jose mendekap tangannya ke dada. Tina tau Jose merajuk pada pacarnya lagi. Ia mendengus bosan.
“Kau itu benar benar Stupid!” Tina menunjuk Jose di wajahnya.
“hah?!” meski terkejut, Jose tak mengubah ekspresinya.
“Kau kan tau, kekasihmu itu anak kelas tiga dan sebentar lagi akan melakukan ujian Negara! Jelaslah ia sibuk! Kau pikir dia tak mau menemuimu apa..? kau itu pikirannya masih anak anak banget! Meski aku baru kelas 1, aku sudah mengerti itu.. kau ini bagai mana..? meski mau tapi tak bisa.. bukannya mendorongnya, eh kau malah makin membuatnya stress..” Tina mendelik tajam seperti menghina kepada Jose. Tapi Jose tahu, Tina ingin menasehatinya. Ia tau sifat sahabatnya itu memang blak blakan dan seperti menghina, namun sebenarnya ia anak yang baik.
“OK Tina.. aku menyerah..” sambil mengangkat kedua tangannya, Jose tersenyum memandang Tina.
“Hah..?” Tina memasang tampang yang menurut Jose tolol dan membuatnya tertawa. Jose tak tau sebenarnya bahwa Tina saat itu sedang memandangi Harry.
Tina mendengus dan meninggalkan Jose yang tertawa kencang. Sedang Tina cuma diam saja. Ia mencoba mengikuti Harry dari jendelanya. Laki laki tinggi yang di kagumi Tina itu sedang main basket bersama teman temannya. Tina memandangnya lembut. Ia seakan kehilangan akal dan terus memandang Harry di ujung matanya. Meski bersembunyi, Tina selalu berusaha menatapnya. Tina mulai mengakui ia suka melihat Harry sejak saat ia melalui kelasnya. Harry memiliki daya tarik yang membuat ia tak mudah di lupakan. Namun tak pernah sekalipun Tina menampakkan ketertarikannya kepada Harry terhadap siapapun. Tina takut mereka akan mengajeknya. Namun ia tau, tak bisa menahan rasa yang ada padanya setiap melihat Harry. Meski ia masih kecil, ia tau apa arti perasaan itu. Tina menyukai Harry. Ia ingin jujur pada dirinya. Mengakui bahwa Harry lah cinta pertamanya. Namun untuk mengaku pada orang lain, masih terlalu cepat untuk Tina. Untuk sesaat ia pikir lebih baik tidak ada yang tahu.
Tina berjalan menyusuri koridor, kali ini pelajaran akan di langsungkan di Lab. Dan mau tidak mau ia musti melewati kelas 1-7. Jantung Tina seakan berhenti berdetak ketika melewati kelas Harry dan melihat anak itu berdiri di ambang pintu sedang berbicara dengan temannya. Tina mencoba bersikap rileks dan berlalu begitu saja dari hadapan Harry. Namun Tina berharap, ia cukup menarik perhatian Harry.
“Kau sedang tegang ya..?” Ruth menyapanya dari belakang. Tina memalingkan wajah. Ia melihat Harry memandangnya. Membuat Tina senang. Namun Tina ingat Ruth ada di belakangnya. Pikiran Tina mulai kacau. Ia menduga Harry menatap Ruth. Tina merasa marah kepada Ruth dan menjawab Ruth dengan agak ketus dari biasanya.
“Memang apa pedulimu..?” Tina medelik kepada Ruth.
“Kau memang hobi mendelik..? kau selalu mendelik setiap kali orang mengajakmu bicara..” Ruth tersenyum.
“I’m fine.. Just ill.. “ Tina menjawab acuh tak acuh.
“Sebaiknya kamu keruang kesehatan.. wajahmu pucat pasi.. apalagi kelihatan tegang.. aku akan memintakan izin kepada Ibu Claude..” Ruth menepuk punggung Tina dengan susah payah. Tina memang bertubuh tinggi, sedang Ruth masuk ke urutan kecil.
Tina menatap Ruth dengan sedikit curiga. Tumbennya Ruth baik sekali. Tapi, Tina takut melalui kelas itu lagi dan mendapati Harry yang memandangnya dalam keadaan setengah sakit. Padahal sebenarnya Tina merasa ia baik baik saja.
“Promise to me, you will not Lie..” Tina menatap Ruth dengan tajam.
“Sure..!” Ruth terlihat semangat.
Dengan sedikit berakting goyah, Tina meninggalkan Ruth. Tina gugup ia harus melewati kelas Harry. Namun ternyata Harry tak ada di depan kelasnya lagi. Tak apa.. dalam hati Tina merasa lega..
Tina tiba di ruang kesehatan dengan sedikit gontai. Saat hendak masuk, Tina mendengar bunyi desahan lembut dari ruang kesehatan. Tina merasa kepalanya mulai tak beres dan wajahnya mulai memerah. Ada yang beruntung rupannya. Itu pikirnya. Namun apa boleh buat, sepertinya ia harus mengganggu. Tina berharap ketika membuka pintu, ia tak mengganggu mereka. Ia diam diam mengendap dengan pelan. Berharap ia tak menimbulkan suara sedikitpun. Ia menyingkap gorden yang ada di tepi ranjang untuk berebah tenang dan kemudian menutupnya lagi. Ia sudah tak mendengar suara apapun lagi. Selesai rupanya. Namun, apa perdulinya..?. gorden di sebelahnya tersingkap. Dan betapa terkejutnya Tina. Di sana Ibu Vallent, guru kesehatannya merapikan bajunya. Dan betapa terkejutnya lagi Tina mendapati Harry ada di ranjang itu terlihat kelelahan. Tina menutup matanya. Ia tak mau tau apa yang telah terjadi.
Tidak.. tidak.. aku tak memikirkannya.. aku tak melihatnya.. aku tak memikirkannya.. aku tak melihatnya.. kumohon.. . Tina berharap hampir putus asa. Ia berebah. Di ujung mata, ia tau Harry menatapnya. Meski itu sudah lama di harapkan oleh Tina, namun itu sama sekali bukan momen yang pas bagi Tina, melainkan bencana tornado di hatinya yang kini mulai memorak porandakan hatinya. Ia memejamkan mata. Berpikir lagi sejenak dan tanpa sadar mulai tertidur.
Tina duduk di kursi atas bukit tempat favoritnya. Ia menghirup udara sejuk. Sesaat bebannya seakan mulai lepas. Tina memandam sekeliling. Namun ia menemukan sosok Harry berdiri diam menatapnya dan tersenyum. Tina tersenyum membalasnya. Namun tiba tiba Tina mendengar suara desahan itu lagi. Langit serasa mendung bagi Tina. Tina membuka matanya. Mimpi.. mimpi yang menyenangkan dan mengerikan. Ia menatap lurus langit langit ruang kesehatan yang berwarna putih. Ia menghembuskan nafas panjang. Tina benar benar tak mau mengingatnya lagi.
Lorong itu sepi, tak ada terlalu banyak orang yang berlalu lalang di sana. Tina mendengus kencang. Ia malas sekali.. Baru saja ia di ceramahi habis habisan oleh Pak Gere karena membolos di pelajarannya. Tiba tiba Tina merasa tekanan berat menimpa kepalanya. Ia hampir terjatuh. Ia merengguh tiang. Sakitnya kambuh lagi. Kebiasaan lamanya kambuh. Padahal sudah lama tidak. Mungkin karena Tina jarang olahraga lagi. Tiba tiba saja ada yang memegang pundaknya dari belakang. Ia kaget setengah mati.
“Hei..” kata orang itu. Tina sangat gugup. Ia cuma melihat kakinya saja.Tina mendongak untuk melihat siapa dia. Mendapati orang yang ada di hadapannya itu, Tina lebih kaget lagi.
Harry berdiri di depannya.
“Kau tak apa apa..?” Harry berkata lembut membuat Tina jadi tak tau harus berkata apa.
“Yeah.. I’m Fine.. No problem.. Thanks for your care..” ia berusaha berdiri. Namun memang tenaganya sudah terserap oleh jantungya yang berdebar begitu kencangnya. Ia ambruk lagi.
“Kau tak terlihat begitu.. mari ku bantu kau ke ruang kesehatan” mendengar Harry mengucapkan kata ruang kesehatan, Tina mulai kepikiran lagi. Baginya itu adalah tempat yang terkutuk dan paling ia benci di sekolah itu. Namun melihat Harry, bayangan akan kebencian akan ruangan kesehatan itu membuat Tina berpikir dua kali untuk menjauhinya. Harry menjulurkan tangannya untuk membantu Tina berdiri. Ia sambut tangan Harry. Hangat. Itu yang di rasakan oleh Tina. Ia benar benar sudah menyentuh tangan Harry. Namun karena gugup, ia langsung menarik tanganya dari Harry.
“Aku bisa ke sana sendiri.. aku takut mengganggu kau mesti meluangkan waktu untuk sekedar mengantarku ke ruang kesehatan..” Tina menyesal mulutnya berkata seperti itu karena gengsi.
“Aku tak ingin menjadi orang yang bertanggung jawab jika kau jatuh dari tangga saat hendak naik ke ruang kesehatan yang ada di lantai 3 sana! Jadi jangan menolak!” Harry berkata membujuk Tina. Tina tersenyum.
“Thanks..” ia tersenyum semanis mungkin.
Harry membawanya menuju lantai tiga ke ruang kesehatan. Waktu berlalu dengan singkat bagi Tina.
“Vallent, ada anak yang sakit.. aku membawanya..” Harry begitu cuek dengan ruangan itu.
Bu Vallent menatap dari balik gorden.
“Ya.. silahkan berbaring saja di sana..” ia menunjuk ranjang yang kosong. Tina berebah.
“Cattleya June? Lagi lagi kau..? jangan jangan hal yang sama lagi ya..?” Ia menatapku cemas.
“Tolong jangan menatapku seperti itu...” Tina menutup mukanya dengan tangannya. Ia tidak ingin mengingat kejadian itu lagi. Baginya sudah cukup penderitaan melihat kejadian itu.
“Memangnya dia sudah sering ke sini Vallent? Perasaan aku baru melihatmu sekali di ruangan ini Cattleya..” Harry mengerutkan kening tanda bingung.
“Tina saja.. oke?” Tina masih berebah kelelahan. Sakit itu makin menjadi jadi saja.
“Tina?” Tina tau Harry bingung.
“Cattleya Martina June!” Ibu Vallent menunjuk Harry.
Harry cuma mengangguk pelan.
“Kalau begitu permisi, Tina, cepat sembuh.. sampai ketemu Vallent” Harry keluar dari ruangan itu.
Tina menyesal ia belum sempat berbicara banyak dengan Harry.
“Anak itu..” Bu Vallent mendengus kencang.
“Memang ada hubungan apa antara kalian..? sama sama memanggil nama..” Tina masih menutup mukanya dengan pergelangan tangannya.
“Dia adik sepupuku.. kau kelihatannya salah satu penggemarnya ya..?”
“Bukan.. aku cuma mau tau saja.. dia sudah menolongku.. itu cukup bagiku..” jawaban dari Bu Vallent tak ada pengaruhnya pada perasaannya.
“Tapi tidak harus sampai menutup mukamu kan saat melihatnya?” Bu Vallent mencoba menggoda Tina.
“Bukan.. aku cuma kurang suka tempat ini, itu saja..”
Bu Vallent menghampiri Tina. Tina membuka matanya.
“Kau itu sakit apa sampai memerah seperti itu..? aku sampai sekarang belum menyimpulkan sakitmu itu apa.. tidak jelas sekali Tina!” ia mengangkat kedua tangannya seolah mengejek.
“Vertigo! Biasa kan..?” Tina menatap tajam Bu Vallent.
“Ya sudah..” Bu Vallent meninggalkannya mengambil obat.
Tina merasa wajahnya merah padam saat bicara dengan Harry saat itu. Saking tak mau percayanya, ia tak mau membuka matannya. Ia harap, ia akan mendapatkan kesempatan kesempatan lain lagi dengan Harry. Namun sepertinya Harry tak begitu mengingatnya. Dan kenangan itu padam begitu saja.
Tak terasa, ia kini mulai menjadi murid kelas 2 di Lower Secondary School itu. Lega rasanya ia kini sudah menjadi senior. Bukan lagi junior yang mudah di permainkan. Entah kenapa, makin hari, Tina semakin tak bisa melepas pandangannya dari Harry. Kadang memang ia mesti rela memandangnya di pelupuk mata saja. Tina selalu menghargai setiap memori tentang Harry. Setiap kali ia mengingatnya, itu sudah cukup membuatnya begitu senang. Menatapnya membuat Tina memiliki banyak waktu luang. Namun ia tau, murid baru berarti saingan betambah. Ia mendengar banyak gossip anak kelas 1 menyukai Harry. Apa lagi anak itu memang setiap jam istirahat selalu main di lapangan basket. Tentulah ia selalu menarik perhatian semua wanita dengan dirinya yang memikat setiap orang itu. Harry memiliki kharisma yang jika orang memandangnya, tidak mudah melupakannya. Tina sadar, ia salah satu dari orang orang tersebut. Ia pengagum rahasia Harry. Namun bagi Tina, mengaku ia menyukai Harry sama saja bunuh diri. Mempermalukan diri sendiri. Tina tau ia pengecut karena cuma bisa melihat Harry dari jauh saja, namun ia memang sudah cukup puas hanya dengan itu.
Rutinitas Tina tidak berubah. Memandangi lapangan basket lewat jendela kelasnya. Karena tempat duduknya selalu di dekat jendela, Tina tidak akan merasa di curigai. Mereka memang pindah kelas, tapi kelas Tina hanya beralih ke tingkat dua nya saja. Jadi tetap akan menikmati pemandangan yang sama. Ia merasa beruntung.
Di kelas hanya terlihat beberapa orang saja. Termasuk Tina yang pastilah menatap lapangan basket. Lara duduk di depannya dan sedang asyik bicara dengan Debbie. Sesekali Tina mendengar yang mereka bicarakan. Tapi Tina memang tak begitu tertarik dengan topic selain Harry. Tidak sama sekali.
“Bukankah memang mereka sudah putus..?” Lara mengerjap Tina. Tina hanya mendongak malas. Ia menopang dagunya dengan tangan sambil melirik lapangan basket di bawah.
“Memang apa urusanya Grieta dengan Lane..? sampai sampai retak begitu saja.. tapi aku memang tau sejak awal hubungan mereka memang tak akan langgeng” Debbie tak kalah semangatnya.
“Bisakah kalian cari topic lain selain gossip murahan itu..?” Jose datang tiba tiba dari belakang Tina. Debbie dan Lara terkejut. Tina sama sekali tak terlalu memperdulikannya.
“Jose! Kau mengageti kami! Kenapa sih laki laki itu terlalu bikin terkejut..?” Lara melirik Jose kesal.
“Ia.. aku tau! Dan jangan menghina kami seperti itu lagi!” Jose terlihat santai tapi memberikan beberapa penekanan pada kata katanya.
Jose menatap Tina lekat. Ia ingin tau apa yang di pikirkan gadis itu. Jose kemudian melirik ke jendela. Dan melihat dari bawah jendela anak laki laki sedang bermain basket. Jose memperhatikan ekspresi Tina yang berubah ubah. Ia tak terlalu mendengarkan ocehan Debbie dan Lara. Yang ada di pikiranya adalah mencari tau apa yang ada di pikiran Tina. Setelah mengamati dengan seksama, Jose terdiam. Ia seakan tak percaya apa yang baru di sadarinya. Namun ia meyakinkan dirinya, bahwa mungkin saja salah dan hanya kebetulan semata.
“Jose,.. setelah kau pisah dengan Illiana, gebetanmu siapa..?” Lara menatap curiga dan tersenyum senyum memandang Jose. Debbie cekikikan menahan tawa.
“Aku mengincar anak kelas satu yang bernama Melysa Hugh dari kelas 1-5, aku berkenalan denganya ketika masuk ajaran baru.. bagaimana menurutmu..?” Jose menatap ketiga temanya tersebut.
“Aku tak tau mesti komentar apa.. Tina, kau punya pendapat..?” Debbie menyenggol nyenggol Tina dan kemudian sadar dengan keadaannya saat itu.
“Terserah Jose mau dengan siapa.. bukan urusanku..” Tina menjawab asal saja. Tapi sepetinya Jose terlihat kesal dengan kata katanya tadi.
“Sorry Jose.. aku enggak bermaksud buat..”
“JOSE! Kemari sebentar!!” suara itu mengejutkan mereka. Di ambang pintu, Harry melambai kepada Jose. Jose memandang Tina sejenak, dan kemudian pergi menemui Harry. Tina cuma bisa diam terpaku. Tapi kemudian langsung merespon apa yang dibicarakan oleh Debbie dan Lara.
“Bagaimana menurutmu si Harry itu..? ia Cool kan..?” mata Debbie terlihat begitu bersinar ketika menyebut nyebut nama Harry. Tina mulai tertarik dengan pembicaraan itu.
“Kau menyukainya ya..?” Lara melirik Debbie.
“Ia lah! Dia kan yang paling cakep di angkatan kita! Jangan berlaga bego deh! Kau kan juga tergila gila denganya..?” Debbie mencibir Lara.
“Ia sih.. tapi dulu!! Sekarang terlalu banyak saingan! Apa lagi kita kan sudah tau faktanya”. Mendengarnya membuat jantung Tina berdegup kencang.
“Maksud mu..?” Tina berlagak acuh tak acuh dengan pembicaraan, namun dalam hatinya, ia benar benar ingin tau apa yang di maksud “Fakta” itu.
“Hey.. ku kira kau sudah tau Tina? Semua teman Elementry Schoolnya tau akan hal itu! Bahwa Harry Bilshton menyukai Maryeta Henski! Kau kan sangat mengaguminya Tina! Ayolah.. siapa yang mau bersaing dengan Mss. Henski? Sejak di Elementry School, ia murid kebanggaan! Miss Perfect dan baik hatinya. Yah.. kau tau kan.. sekolah sangat menyayangkan ia pindah pada bulan lalu. Dan Harry lumayan terpukul kelihatannya.. siapa laki laki yang mau menolak Maryeta?” Lara menatap kedua temannya dengan serius.
Namun dalam hati Tina sekarang, seolah ada petir besar yang menyambar dan menghancurkannya berkeping keping hatinya. Ia merasa begitu kesakitan. Mendengar Harry menyukai Maryeta yang ia kagumi sekali cukup membuatnya sangat frustasi. Meski Maryeta sudah pergi, tapi jejak Maryeta tentang Harry masih akan selalu ada di hatinya. Tina mulai merasa frustasi.
Ia melangkah gontai di lorong. Murid murid sudah pulang ke rumah. Tina merasa ia tak mampu untuk meninggalkan sekolahnya. Entah kenapa, ia sangat frustasi mendengar perkataan Lara tadi tentang Harry yang menyukai Maryeta. Ia menuju kelasnya untuk duduk di kursinya lagi dan merenung. Ia menatap lapangan basket yang kosong. Ia membayangkan Harry bermain di sana.
“Melamun saja Mss. June? Kau sedang memikirkan apa..?” Jose menatap Tina. Ia cukup mengagetkan Tina, tiba tiba muncul di hadapannya.
“Kau memikirkan siapa..?” Jose seolah sudah tau pikiran Tina.
Tina tersentak. Ia kaget Jose tau ia memikirkan seseorang. Tapi Tina berusaha cuek saja. Memikirkan bahwa Harry menyukai Maryeta membuatnya ling-lung.
“Bukan urusanmu!” jawabnya ketus.
“Aku tau, aku tau orang yang kau pikirkan dan siapa orang itu.. aku tau dengan jelas Tina..” Jose menatap Tina tajam. Ia langsung mengajukan kecurigaannya kepada Tina. Tina tersentak kaget dan menghilangkan lamunannya. Benarkah Jose tau? Mungkin ia salah tebak. Biarkan saja. Dalam hati, Tina sudah siap membuat penyangkalan.
“Bercanda kau..! Kalau memang tau yang ku pikirkan, siapa orang itu? Aku jadi penasaran ingin tau orangnya yag kau tebak!” Tina sedikit khawatir dengan jawaban Jose.
Jose mendekatkan wajahnya ke depan Tina.
“Harry kan..? kau selalu saja memandangnya.. aku baru tau beberapa waktu yang lalu saat kau memandanginya. Ayolah.. aku sahabatnya.. mungkin aku akan membantumu..?” Jose tersenyum lirih dan terlihat licik di mata Tina.
“Salah besar kau mengatakan aku menyukai seseorang, dan aku tau..? aku bahkan tidak kenal siapa Harry itu..” Tina menjawab tegas.
‘Terlambat.. aku sudah mengatakan padanya kau menyukainya.. ia ingin tau siapa kau..” Jose memegangi pipi Tina dengan gemas.
“Jose! Kau tau apa yang barusan kau katakan..?! kau mau membuat aku terkena masalah ya..?! aku benar benar tak menyukainya! Aku bahkan tak mengenalnya!” pipi Tina memerah saking marahnya. Ia takut di ejek dan semacamnya yang membuatnya tidak tenang.
“Tenanglah Tina! Tapi, aku mau mengatakan bahwa kau mesti menyerah, ia menyukai orang lain dari kelas kita, aku tau pasti bukan kau!” Jose mencium pipi Tina dan kemudian beranjak dari kursinya dan pergi meninggalkan Tina sendiri di kelas dengan wajah memerah karena marah. Jose brengsek! Itu pikirnya.
Tina bergegas pulang ke rumahnya. Ia sudah tak tahan ingin menagis di kamarnya. Ketika melihat pintu depan rumahnya, Tina membantingnya keras keras.
“Tina.. sweety.. ada apa..?” Mommy memeluk Tina dan memberikan ciuman selamat datang pada Tina. Ia khawatir dengan anaknya yang datang dengan cara tak lazim.
“Kau tau, pintu rumah bisa copot kalau kau melakukannya setiap hari.. What’s Wrong..?”
“Disaster!!?” Tina menghembuskan nafas marahnya.
“Bencana..? hey.. kau tak boleh bicara seperti itu! Bicaralah baik baik Tina..” Mommy mengusap kepala Tina. Tina berlari begitu saja menaiki tangga ke kamarnya.
“Kau mau makan apa sweety..? Mommy akan membuatkannya..” Mommy mendongak menatap Tina. Tina berhenti sebentar untuk menjawab.
“Anything Mommy!”
“Sweety..?” Mommy menatap Tina dan mendengus kencang.
Tina merasa bebannya menumpuk di kepalanya. Ketika melihat barang barangnya, Tina benar benar tak bisa berpikir lagi. Ia benar benar merasa buram. Ia kesal Jose mengetahui perasaannya. Seenaknya saja dia!. Tina mengamuk di dalam kamarnya. Ia menghancurkan setiap barang barangnya. Mengacak acak lemarinya, memporak porandakan semua alat make-upnya, menghancurkan tempat tidurnya, dan segala yang ada di kamarnya. Tina benar benar kesal dan menangis tersedu sedu. Ia benar benar kesal. Setelah itu Tina berpikir, lebih baik ia menyangkalnya saja sesuai harapannya, dan coba melupakan Harry. Ia benar benar tertekan telah menyukai Harry.
“Tina! Apa yang ku dengar dari Jose itu bohong kan..?!” Debbie mencengkram pundak Tina dengan keras. Tina sudah siap menyangkalnya. Ia tak akan pernah mau jujur.
“Tentang apa sih..?” ia menyingkirkan tangan Debbie.
“Kau! Kau menyukai Harry!” Debbie menatapnya serius. Tina tau ia harus mengatakan apa.
“Are you kidding me..? Funny!” Tina tertawa.
“Serius Tina! Jawab!”
“Jose bercanda! Aku bahkan tak kenal siapa orang itu..? oh! Ya! Orang yang ingin ku ejek itu kan?”
Tina menjawab setengah bercanda dengan Debbie, namun dalam hatinya, ia mulai meraung raung mengatakan kebenarannya.
“Hah.. kupikir Jose serius.. aku benar benar cemas”.
Aku juga cemas!!. Seru Tina dalam hati.
“Lucu sakali membayangkan kau menyukai Harry! Sungguh memalukan! Sukurlah tidak Tina..”
Hatinya selalu sakit bila menjawab pertanyaan semua temannya. Benar benar menyiksa Tina dari setiap sisa hatinya. Ini semua gara gara Jose, pikirnya. Namun ia tau, ia harus melupakan Harry. Ia pikir, Harry sudah tau ia menyukainya dari Jose. Kali ini, Tina benar benar membenci Jose. Baginya ia memang yang paling menyebalkan.
“Haruskah kita mengatakan itu padanya Claude? Ku pikir ia tak akan senang..” Tina mencuri dengar kata kata Mommy di balik pintu. Ia berpikir keras, apa arti percakapan mereka.
“Ku pikir, dia malah menyukainya. Ia kan selalu merasakan menjadi murid baru..”
“Apakah kau masih ingat ketika kita terakhir pindah? Anak itu meraung raung tidak mau pindah! ku rasa ia akan sedih lagi” mendengar itu, meski membencinya, Tina merasa sedikit ada kelegaan.
Ia akan memulai perasaan barunya lagi. Mencoba melupakan Harry.
“Yah.. Tina menyukainya Daddy..” Tina muncul di hadapan kedua orang tuanya.
“Tina.. kau menguping..?” kata Daddy sedikit senang.
“Terserahlah Daddy, yang penting Tina senang mendengarnya” Tina tersenyum senang.
“Benarkan Shannon! Tina menyukainya! Tina.. sweety, kita akan pindah lumayan jauh.. kelihatanya kau akan sedikit memulai belajar bahasa baru.. biar Daddy ingat, kau bisa berbahasa.. Inggris pastinya, Latin, kita memang memakai itu sekarang.. kau tak melupakan bahasa Indonesia mu kan..? itu bahasa nenek mu! Kau bisa Mandarin sweety..?” Daddy menanyakanya dengan lucu.
“Bukan Mandarin Claude! Tapi Jepang!” Mommy mengingatkan Daddy. Pekerjaan Daddy memang harus selalu berpindah, itu sebabnya Tina mempunyai banyak teman dan mudah beradaptasi.
“Apa..? ku pikir kita masih akan pindah di sekitar Jerman saja?” Tina terlihat kaget.
“Kau kan tau, kita selalu berpindah pindah Tina.. hey.. aku tak ingat kita di mana saja selama ini.. biar ku ingat.. Indonesia, aku bertemu Ibumu, Thailand.. yah.. kau belum lahir sweety, Paris.. kau lahir waktu itu.. Athena.. aku lupa kapan.. setelah itu, baru ke Jerman kan Shannon..?” Daddy melirik Mommy yang juga sedang berpikir. Saat itu Tina menyesal ia menyetujuinnya.
“Kau lupa Korea, Claude!” Mommy mengingatkan.
“Kita hanya sebentar di sana Shannon.. tak lebih dua tahun..”
“Aku mau ke kamar..” Tina berjalan gontai. Ia menyesalinya.
Tina sudah terlanjur menyetujuinya. Ia pikir, ia akan bisa melupakan Harry. Hari berkemas pun telas selesai, esok ia dan keluarganya akan pindah ke Jepang. Hari itu terakhir ia sekolah di sana.
“Cattleya June, bisa maju ke depan..?” Ibu Elie melambai Tina. Tina maju ke depan dengan langkah gontai.
“Anak anak, hari ini hari terakhir kalian akan melihat Mss. Cattleya June.. ia besok sekeluarga akan pindah ke Jepang.. memang agak mengejutkan, tapi, jika ia ada salah atau pun masalahnya.. tolong selalu berhubungan dengannya supaya tak kehilangan kontak dengannya ya..?”
Mendengar kata kata Ibu Elie, semua kelas heboh berbisik bisik. Dan tak kalah histerisnya adalah Jose dan Debbie.
“Tina, kau kejam tak mengatakan itu terlebih dahulu kepada kami!” Debbie memeluk Tina erat. Namun Tina benar benar tak perduli lagi. Meski ia memang tak terlalu senang kalau harus berpisah dengan Debbie, sahabat baiknya. Tapi, demi Harry ia sanggup melakukannya. Tak ada kata kata perpisahan yang terucap dari mereka. Tina langsung pergi begitu saja. Meninggalkan kota itu. Ia sudah tak perduli tentang menyatakan perasaannya dengan Harry, ia ingin melupakannya begitu saja. Namun, sesampainya di Tokyo dan menjalani hidupnya, Tina tau, ia tak akan pernah lepas dari Harry. Bayang bayang Harry sebagai pria idamanya selalu melekat di diri Tina. Dalam tidurnya ia kadang mengenang kembali saat saat memandang Harry. Ia tak tau seperti apa Harry sekarang, namun yang pasti, Tina selalu berharap ia akan bertemu dengan Harry lagi. Karena bagi Tina, Harry adalah satu satunya laki laki yang ada di mimpinya.
Mrs. C. Martina J. My Best Friend.
Tina adalah temanku yang bersedia dengan baik baik menceritakan tentang pengalaman cinta pertamanya saat duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Tina memang selalu tinggal berpindah pindah. Setelah 3 tahun di Jepang, Tina pindah lagi ke Inggris mengikuti orang tuanya. Sekarang, ia sudah tercatat menjadi mahasiswa sebuah universitas di Indonesia. Ia tinggal bersama dengan saudara saudaranya yang ada di sini, karena orang tuanya selalu berpindah pindah. Tina memang masih saja melamun membayangkan cinta pertamanya itu.
“Sudah lama aku tak melihatnya. Momennya memang kecil, namun perasaanku saat itu tak akan berubah. Selalu saja sampai sekarang aku masih mengingatnya dengan jelas. Semakin aku melupakannya, semakin ia ada di mataku. Kenangan kenangan yang berharga yang tak aku ceritakan tentangnya memang masih bannyak, namun aku tak mau menceritakannya lebih jauh, karena yang pasti akan membongkar beberapa rahasia lain dari seseorang temanku. Setiap kali aku membayangkan wajahnya, aku selalu rindu akan masa masaku saat itu. Aku ingin mengulang saat saat di mana aku dapat memandangnya lagi dari jendela kelasku. Bagiku, tak ada yang lebih berarti lagi saat itu. Saat itu adalah saat saat yang paling ku inginkan kembali. Aku ingin mengulangnya lagi dan lagi, supaya aku dapat melihatnya lagi dan mengatakan sejujur jujurnya perasaanku. Aku menyesal tak mengatakannya. Harry.. aku ingin berani mengatakannya..”
Tina memang tidak terlalu melankoli, namun sorot matanya saat menceritakan pengalamannya itu sungguh membuatku sangat antusias. Entah apa yang ada di benaknya saat mengatakan hal tersebut, namun, Tina memang jelas masih mengharapkan Harry. Dari cerita Tina, ia memang masih berhubungan dengan Mss. Deborah Patrigg selama dua tahun, dan kemudian berangsur angsur, mereka mulai putus komunikasi karena jarak. Beberapa waktu yang lalu, setelah sekian lama, Tina mendapatkan kontak dari Mss. Laura Morgan. Melalui Lara, Tina mengetahui Debbie pindah dari daerah itu. Lara mengatakan bahwa setelah lulus dari Lower Secondary School, ia tak mendengar kabar apa apa lagi tentang Mr. Harry Bilshton. Harry kelihatannya memilih untuk mengenyam pendidikan lebih jauh. Semua alumni tidak ada yang tau lagi kabar dari Harry setelah kelulusannya. Sedang Mr. Jose Raquell juga melanjutkan sekolahnya ke Belanda. Mereka terpisah, kecuali Lara yang masih menetap di sana.. To give you, I take you in the middle.
“MASIHKAH AKU AKAN MELIHAT MU LAGI SUATU SAAT NANTI ?”
“AKU BENAR BENAR INGIN BERTEMU DENGANMU WALAU HANYA UNTUK TERAKHIR KALINYA”
“HARUSKAH AKU MENGUBUR KENANGAN INI UNTUK MELUPAKANMU?”
“OTAKKU MENGINGINKANKU MELUPAKANMU TAPI HATIKU MENOLAKNYA”
“KETIKA AKU MEMANDANGMU, YANG ADA DI MATAKU HANYALAH KEBAHAGIAAN”
“KENANGAN YANG TAK BERARTI BAGI ORANG LAIN ADALAH KENAN GAN YANG PALING BERARTI BAGIKU”
“AKU MENYESAL MENINGGALKANMU TANPA MENGAKUI AKU MENCINTAIMU…”
From: My friend, Martina CJ.
“Secret”
Tina sedang duduk sambil mengeluh bosan. Pelajaran Sejarah. Semua sibuk mengerjakan tugas kelompok. Ia sudah selesai terlebih dahulu.
“Hey.. aku boleh melihat jawabanmu..? ayolah.. kita kan satu kelompok..?” Ruth menatap Tina penuh harapan.
“Baiklah.. tapi ubah sedikit jawabanmu itu.. nanti dicurigai..”. Yang ia lakukan cuma mendesah. Heran. Padahal, Ruth termasuk anak pintar, mau maunya dia minta jawaban dari Tina yang sudah jelas pasti ada salahnya.
“Oh.. Thanks!”. Gadis itu tersenyum manis.
Ia kemudian memandang keluar kelas. Matanya tertuju pada ambang pintu kelas. Seolah sedang memperhatikan sesuatu. Matanya ingin menutup, tapi ia tau, ia tidak mengantuk sama sekali. Tina mendengar seseorang sedang berjalan hendak melalui pintu kelasnya. Tanpa sadar ia mendongak begitu saja memandang siapa yang datang. Sesaat sosoknya menarik Tina untuk ingin menatapnya. Merasa terkejut dengan dirinya sendiri. Orang itu menengok kearah kelas dengan lurus. Kemudian memalingkan wajahnya lagi. Dan berlalu begitu saja melalui kelas Tina menuju ke ujung lorong. Siapa orang itu? Tina tau ia tak pernah melihatnya sebelumnya. Padahal, sudah lebih 2 bulan ia duduk di kursi itu menikmati suasana bangku Lower Secondary School yang orang bilang sudah masanya menjadi remaja. Dan tentu saja, ketika melihat sosoknya, Tina terperanjat. Dalam hati ia bertanya, siapa laki laki itu. Dan mengharapkannya. Satu pintanya, Tina harap ia dapat melihatnya lagi.
Tina menatap jendela di samping tempat duduknya. Jam istirahat dan tak ada orang. Merasa bosan, ia memandang ke jendela. Ia melihatnya. Melihat laki laki itu lagi. Lapangan basket tepat ada di seberang kelasnya. Hanya dengan sekali menengok ia bisa melihat lapangan basket sekolahnya yang luas. Tina memandangnya. Meski ia tak bermain sangat bagus, namun cukup membuat Tina terpesona. Matanya seakan tak bisa lepas dari laki laki itu. Matanya entah kenapa selalu ingin melihat dia.
“Tina.. nih aku bawa kan makanan.. kamu enggak jajan kan..?” Debbie tersenyum lembut. Ia menghawatirkan sahabatnya. Ia memang jarang sekali keluar kelas minggu minggu ini. Padahal, biasanya Tina lah yang selalu paling pertama keluar kelas ketika jam istirahat. Tina cuma memandang ke jendela kelas. Ia tak mengatakan apapun. Debbie melihatnya bertatapan kosong.
“Are you OK Tina..? kelihatannya sakit.. kok jarang keluar sih..?” Debbie menatap Tina lekat.
Sesaat gadis itu tak menjawab dan asyik dengan pikirannya sendiri.
“Tina!” Debbie berteriak kencang di hadapan Tina. Ia terlihat kaget.
“Apa..?” Tina menjawab lemas. Namun ia menatap Debbie lurus.
“Kamu tidak mendengar apa yang aku katakan…? What’s wrong with you? Sakit? kau terlihat berbeda..” ia ingin tau ekspresi Tina.
“No.. no.. I’m fine..” tangannya menopang dagunya. Kemudian mereka menatap lapangan basket. Debbie memperhatikan dengan seksama. Anak laki laki bermain bola basket. Apa yang istimewa? Pastilah Tina memikirkan hal lain, itu pikirnya.
Tina cuma menatap lapangan. Matanya benar benar tak bisa lepas dari sosok laki laki itu. Sudah entah berapa lama Tina memandangnya. Ia bahkan tak sadar tadi Debbie menyapanya.
“Hey Tina.. coba lihat Kak Christ.. dia bermain bagus kan..? ku rasa sudah saatnya dia menjadi kapten klub basket.. bagaimana menurutmu..?” kali ini Debbie mencoba membuka pembicaraan lagi.
Kali ini, Tina benar benar mendengarkannya.
“Menurutku biasa saja..” terlintas ide dari benak Tina. Dia rasa Debbie tau siapa nama laki laki itu.
“Hey.. dia itu mainnya payah sekali.. siapa sih dia..? lucu. Passing saja tidak bisa..” dalam hati Tina memaki ide nya.
“Mana..?” Debbie mencari cari sosok yang di sebutkan Tina.
“Yang pakai Handband warna putih itu..” katanya menunjuk laki laki itu.
“Dia..?” sambil menunjuk laki laki itu. Ia tidak menduga reaksi Debbie.
“Ya.. lucu.. mainnya jelek.. siapa tau aku bisa mengejeknya..” kata kata itu meluncur begitu saja. Tina membenci mulutnya sendiri. Bisa bisanya ia menghina, padahal jelas jelas Tina selalu memandangnya.
“Jangan menghina seperti itu! Biar begitu, dia itu popular loh di sekolah kita! Memangnya kau tak tau apa..? katanya dia sempet loh nanyain Ruth.. soalnya waktu ujian masuk, dia ada di peringkat 4, sedang Ruth ada di peringkat 3! Menurutmu mereka cocok tidak..?” kata kata Debbie benar benar membuat hati Tina panas.
“Kemudian..? siapa namanya?” sekarang Tina semakin antusias.
“Masa’ kau tak tau..? banyak loh yang suka sama dia.. gantengkan orangnya..? pintar lagi.. katanya ia paling susah di taklukkan.. pangeran Cool sih..” terlihat dari sorot mata Debbie, dia tau Debbie juga salah satu dari orang orang tersebut.
“Aku tidak menanyakan itu. Aku sama sekali tak tertarik dengannya. Aku cuma mau cari topik pembicaraan.. terus..?” Tina berhasih berkilah. Ia tak akan mau mengakui hatinya.
“Dia anak kelas 1-7. yang di ujung koridor sana.. banyak kelebihannya. Dan yang pasti dia anak baik baik..” Tina tidak tahan dengan ocehan Debbie.
“Siapa Debbie..?” katanya lagi.
“Harry.. Harry Andrian Bilshton.. kenapa kau begitu ingin tau namanya..?” kali ini Debbie menanyakan hal yang membuat Tina berpikir dua kali lipat menahan malu mencari alasannya.
“Bosan saja.. ada topic lain..?”
Tina benar benar sudah tak bisa menahan rasa malunya jika ketahuan memperhatikan anak laki laki itu. Tina senang ia tau nama anak itu setelah berminggu minggu tak tau namanya.
“Enggak ada.. sore ini kau ada acara..?” Debbie selalu telihat antusias jika bertanya.
“Enggak ada.. Boring.. kenapa..?”
“Jalan jalan yuk!” gadis itu menatap Tina penuh harapan.
Tina cuma mendesah panjang. Namun ia bahagia. Setidaknya ia tau nama laki laki yang menarik perhatiannya itu. Tina tau meski ia polos. Harry.. hanya dengan mendengar atau mengucapkan dalam hati nama laki laki itu, hatinya sudah merasa sangat bahagia. Senyum sendiri dan berkhayal memang rutinitas Tina. Namun kali ini berbeda. Ia memilikinya nyata. Namun Tina masih terlalu kekanakan untuk mengakui perasaannya.
“Jose.. sedang apa kamu..?” Tina menegur Jose yang sedang termenung di jendela. Kelas lumayan ramai. Pak Gere tidak masuk, pelajaran kosong membuat kelas jadi riuh.
“Memangnya sedang apa..?” jawabnya ketus.
“Wow.. kenapa..? kesal..? aku kan cuma menegur mu..” Tina menyunggingkan senyum. Membuat Jose melunak.
“Aku tau Tina..” ia terlihat tak bersemangat di mata Tina. Namun kekhawatiran Tina terhadap Jose menghilang. Matanya menemukan sesosok orang yang menarik mata dan pikirannya. Ia cuma memandanginya. Ia tak mendengar ocehan Jose.
“Kau mendengarku..?” tiba tiba wajah Jose tepat ada di depan Tina. Ia tersentak.
“Ya..”
“Tapi kau tak terlihat sedang mendengarkanku” alis Jose mengerut tanda curiga.
“Kau pikir aku kemana jadi tidak mendengarkan omonganmu..?” Tina mendelik mesra kepada Jose. Tina terbiasa melakukannya kalau terpaksa. Jose mulai jujur.
“Illiana tak terlalu merespon aku akhir akhir ini.. katanya terlalu sibuklah..aku kan mau bertemu dengannya.. aku paling tidak punya rasa rindu..” Jose mendekap tangannya ke dada. Tina tau Jose merajuk pada pacarnya lagi. Ia mendengus bosan.
“Kau itu benar benar Stupid!” Tina menunjuk Jose di wajahnya.
“hah?!” meski terkejut, Jose tak mengubah ekspresinya.
“Kau kan tau, kekasihmu itu anak kelas tiga dan sebentar lagi akan melakukan ujian Negara! Jelaslah ia sibuk! Kau pikir dia tak mau menemuimu apa..? kau itu pikirannya masih anak anak banget! Meski aku baru kelas 1, aku sudah mengerti itu.. kau ini bagai mana..? meski mau tapi tak bisa.. bukannya mendorongnya, eh kau malah makin membuatnya stress..” Tina mendelik tajam seperti menghina kepada Jose. Tapi Jose tahu, Tina ingin menasehatinya. Ia tau sifat sahabatnya itu memang blak blakan dan seperti menghina, namun sebenarnya ia anak yang baik.
“OK Tina.. aku menyerah..” sambil mengangkat kedua tangannya, Jose tersenyum memandang Tina.
“Hah..?” Tina memasang tampang yang menurut Jose tolol dan membuatnya tertawa. Jose tak tau sebenarnya bahwa Tina saat itu sedang memandangi Harry.
Tina mendengus dan meninggalkan Jose yang tertawa kencang. Sedang Tina cuma diam saja. Ia mencoba mengikuti Harry dari jendelanya. Laki laki tinggi yang di kagumi Tina itu sedang main basket bersama teman temannya. Tina memandangnya lembut. Ia seakan kehilangan akal dan terus memandang Harry di ujung matanya. Meski bersembunyi, Tina selalu berusaha menatapnya. Tina mulai mengakui ia suka melihat Harry sejak saat ia melalui kelasnya. Harry memiliki daya tarik yang membuat ia tak mudah di lupakan. Namun tak pernah sekalipun Tina menampakkan ketertarikannya kepada Harry terhadap siapapun. Tina takut mereka akan mengajeknya. Namun ia tau, tak bisa menahan rasa yang ada padanya setiap melihat Harry. Meski ia masih kecil, ia tau apa arti perasaan itu. Tina menyukai Harry. Ia ingin jujur pada dirinya. Mengakui bahwa Harry lah cinta pertamanya. Namun untuk mengaku pada orang lain, masih terlalu cepat untuk Tina. Untuk sesaat ia pikir lebih baik tidak ada yang tahu.
Tina berjalan menyusuri koridor, kali ini pelajaran akan di langsungkan di Lab. Dan mau tidak mau ia musti melewati kelas 1-7. Jantung Tina seakan berhenti berdetak ketika melewati kelas Harry dan melihat anak itu berdiri di ambang pintu sedang berbicara dengan temannya. Tina mencoba bersikap rileks dan berlalu begitu saja dari hadapan Harry. Namun Tina berharap, ia cukup menarik perhatian Harry.
“Kau sedang tegang ya..?” Ruth menyapanya dari belakang. Tina memalingkan wajah. Ia melihat Harry memandangnya. Membuat Tina senang. Namun Tina ingat Ruth ada di belakangnya. Pikiran Tina mulai kacau. Ia menduga Harry menatap Ruth. Tina merasa marah kepada Ruth dan menjawab Ruth dengan agak ketus dari biasanya.
“Memang apa pedulimu..?” Tina medelik kepada Ruth.
“Kau memang hobi mendelik..? kau selalu mendelik setiap kali orang mengajakmu bicara..” Ruth tersenyum.
“I’m fine.. Just ill.. “ Tina menjawab acuh tak acuh.
“Sebaiknya kamu keruang kesehatan.. wajahmu pucat pasi.. apalagi kelihatan tegang.. aku akan memintakan izin kepada Ibu Claude..” Ruth menepuk punggung Tina dengan susah payah. Tina memang bertubuh tinggi, sedang Ruth masuk ke urutan kecil.
Tina menatap Ruth dengan sedikit curiga. Tumbennya Ruth baik sekali. Tapi, Tina takut melalui kelas itu lagi dan mendapati Harry yang memandangnya dalam keadaan setengah sakit. Padahal sebenarnya Tina merasa ia baik baik saja.
“Promise to me, you will not Lie..” Tina menatap Ruth dengan tajam.
“Sure..!” Ruth terlihat semangat.
Dengan sedikit berakting goyah, Tina meninggalkan Ruth. Tina gugup ia harus melewati kelas Harry. Namun ternyata Harry tak ada di depan kelasnya lagi. Tak apa.. dalam hati Tina merasa lega..
Tina tiba di ruang kesehatan dengan sedikit gontai. Saat hendak masuk, Tina mendengar bunyi desahan lembut dari ruang kesehatan. Tina merasa kepalanya mulai tak beres dan wajahnya mulai memerah. Ada yang beruntung rupannya. Itu pikirnya. Namun apa boleh buat, sepertinya ia harus mengganggu. Tina berharap ketika membuka pintu, ia tak mengganggu mereka. Ia diam diam mengendap dengan pelan. Berharap ia tak menimbulkan suara sedikitpun. Ia menyingkap gorden yang ada di tepi ranjang untuk berebah tenang dan kemudian menutupnya lagi. Ia sudah tak mendengar suara apapun lagi. Selesai rupanya. Namun, apa perdulinya..?. gorden di sebelahnya tersingkap. Dan betapa terkejutnya Tina. Di sana Ibu Vallent, guru kesehatannya merapikan bajunya. Dan betapa terkejutnya lagi Tina mendapati Harry ada di ranjang itu terlihat kelelahan. Tina menutup matanya. Ia tak mau tau apa yang telah terjadi.
Tidak.. tidak.. aku tak memikirkannya.. aku tak melihatnya.. aku tak memikirkannya.. aku tak melihatnya.. kumohon.. . Tina berharap hampir putus asa. Ia berebah. Di ujung mata, ia tau Harry menatapnya. Meski itu sudah lama di harapkan oleh Tina, namun itu sama sekali bukan momen yang pas bagi Tina, melainkan bencana tornado di hatinya yang kini mulai memorak porandakan hatinya. Ia memejamkan mata. Berpikir lagi sejenak dan tanpa sadar mulai tertidur.
Tina duduk di kursi atas bukit tempat favoritnya. Ia menghirup udara sejuk. Sesaat bebannya seakan mulai lepas. Tina memandam sekeliling. Namun ia menemukan sosok Harry berdiri diam menatapnya dan tersenyum. Tina tersenyum membalasnya. Namun tiba tiba Tina mendengar suara desahan itu lagi. Langit serasa mendung bagi Tina. Tina membuka matanya. Mimpi.. mimpi yang menyenangkan dan mengerikan. Ia menatap lurus langit langit ruang kesehatan yang berwarna putih. Ia menghembuskan nafas panjang. Tina benar benar tak mau mengingatnya lagi.
Lorong itu sepi, tak ada terlalu banyak orang yang berlalu lalang di sana. Tina mendengus kencang. Ia malas sekali.. Baru saja ia di ceramahi habis habisan oleh Pak Gere karena membolos di pelajarannya. Tiba tiba Tina merasa tekanan berat menimpa kepalanya. Ia hampir terjatuh. Ia merengguh tiang. Sakitnya kambuh lagi. Kebiasaan lamanya kambuh. Padahal sudah lama tidak. Mungkin karena Tina jarang olahraga lagi. Tiba tiba saja ada yang memegang pundaknya dari belakang. Ia kaget setengah mati.
“Hei..” kata orang itu. Tina sangat gugup. Ia cuma melihat kakinya saja.Tina mendongak untuk melihat siapa dia. Mendapati orang yang ada di hadapannya itu, Tina lebih kaget lagi.
Harry berdiri di depannya.
“Kau tak apa apa..?” Harry berkata lembut membuat Tina jadi tak tau harus berkata apa.
“Yeah.. I’m Fine.. No problem.. Thanks for your care..” ia berusaha berdiri. Namun memang tenaganya sudah terserap oleh jantungya yang berdebar begitu kencangnya. Ia ambruk lagi.
“Kau tak terlihat begitu.. mari ku bantu kau ke ruang kesehatan” mendengar Harry mengucapkan kata ruang kesehatan, Tina mulai kepikiran lagi. Baginya itu adalah tempat yang terkutuk dan paling ia benci di sekolah itu. Namun melihat Harry, bayangan akan kebencian akan ruangan kesehatan itu membuat Tina berpikir dua kali untuk menjauhinya. Harry menjulurkan tangannya untuk membantu Tina berdiri. Ia sambut tangan Harry. Hangat. Itu yang di rasakan oleh Tina. Ia benar benar sudah menyentuh tangan Harry. Namun karena gugup, ia langsung menarik tanganya dari Harry.
“Aku bisa ke sana sendiri.. aku takut mengganggu kau mesti meluangkan waktu untuk sekedar mengantarku ke ruang kesehatan..” Tina menyesal mulutnya berkata seperti itu karena gengsi.
“Aku tak ingin menjadi orang yang bertanggung jawab jika kau jatuh dari tangga saat hendak naik ke ruang kesehatan yang ada di lantai 3 sana! Jadi jangan menolak!” Harry berkata membujuk Tina. Tina tersenyum.
“Thanks..” ia tersenyum semanis mungkin.
Harry membawanya menuju lantai tiga ke ruang kesehatan. Waktu berlalu dengan singkat bagi Tina.
“Vallent, ada anak yang sakit.. aku membawanya..” Harry begitu cuek dengan ruangan itu.
Bu Vallent menatap dari balik gorden.
“Ya.. silahkan berbaring saja di sana..” ia menunjuk ranjang yang kosong. Tina berebah.
“Cattleya June? Lagi lagi kau..? jangan jangan hal yang sama lagi ya..?” Ia menatapku cemas.
“Tolong jangan menatapku seperti itu...” Tina menutup mukanya dengan tangannya. Ia tidak ingin mengingat kejadian itu lagi. Baginya sudah cukup penderitaan melihat kejadian itu.
“Memangnya dia sudah sering ke sini Vallent? Perasaan aku baru melihatmu sekali di ruangan ini Cattleya..” Harry mengerutkan kening tanda bingung.
“Tina saja.. oke?” Tina masih berebah kelelahan. Sakit itu makin menjadi jadi saja.
“Tina?” Tina tau Harry bingung.
“Cattleya Martina June!” Ibu Vallent menunjuk Harry.
Harry cuma mengangguk pelan.
“Kalau begitu permisi, Tina, cepat sembuh.. sampai ketemu Vallent” Harry keluar dari ruangan itu.
Tina menyesal ia belum sempat berbicara banyak dengan Harry.
“Anak itu..” Bu Vallent mendengus kencang.
“Memang ada hubungan apa antara kalian..? sama sama memanggil nama..” Tina masih menutup mukanya dengan pergelangan tangannya.
“Dia adik sepupuku.. kau kelihatannya salah satu penggemarnya ya..?”
“Bukan.. aku cuma mau tau saja.. dia sudah menolongku.. itu cukup bagiku..” jawaban dari Bu Vallent tak ada pengaruhnya pada perasaannya.
“Tapi tidak harus sampai menutup mukamu kan saat melihatnya?” Bu Vallent mencoba menggoda Tina.
“Bukan.. aku cuma kurang suka tempat ini, itu saja..”
Bu Vallent menghampiri Tina. Tina membuka matanya.
“Kau itu sakit apa sampai memerah seperti itu..? aku sampai sekarang belum menyimpulkan sakitmu itu apa.. tidak jelas sekali Tina!” ia mengangkat kedua tangannya seolah mengejek.
“Vertigo! Biasa kan..?” Tina menatap tajam Bu Vallent.
“Ya sudah..” Bu Vallent meninggalkannya mengambil obat.
Tina merasa wajahnya merah padam saat bicara dengan Harry saat itu. Saking tak mau percayanya, ia tak mau membuka matannya. Ia harap, ia akan mendapatkan kesempatan kesempatan lain lagi dengan Harry. Namun sepertinya Harry tak begitu mengingatnya. Dan kenangan itu padam begitu saja.
Tak terasa, ia kini mulai menjadi murid kelas 2 di Lower Secondary School itu. Lega rasanya ia kini sudah menjadi senior. Bukan lagi junior yang mudah di permainkan. Entah kenapa, makin hari, Tina semakin tak bisa melepas pandangannya dari Harry. Kadang memang ia mesti rela memandangnya di pelupuk mata saja. Tina selalu menghargai setiap memori tentang Harry. Setiap kali ia mengingatnya, itu sudah cukup membuatnya begitu senang. Menatapnya membuat Tina memiliki banyak waktu luang. Namun ia tau, murid baru berarti saingan betambah. Ia mendengar banyak gossip anak kelas 1 menyukai Harry. Apa lagi anak itu memang setiap jam istirahat selalu main di lapangan basket. Tentulah ia selalu menarik perhatian semua wanita dengan dirinya yang memikat setiap orang itu. Harry memiliki kharisma yang jika orang memandangnya, tidak mudah melupakannya. Tina sadar, ia salah satu dari orang orang tersebut. Ia pengagum rahasia Harry. Namun bagi Tina, mengaku ia menyukai Harry sama saja bunuh diri. Mempermalukan diri sendiri. Tina tau ia pengecut karena cuma bisa melihat Harry dari jauh saja, namun ia memang sudah cukup puas hanya dengan itu.
Rutinitas Tina tidak berubah. Memandangi lapangan basket lewat jendela kelasnya. Karena tempat duduknya selalu di dekat jendela, Tina tidak akan merasa di curigai. Mereka memang pindah kelas, tapi kelas Tina hanya beralih ke tingkat dua nya saja. Jadi tetap akan menikmati pemandangan yang sama. Ia merasa beruntung.
Di kelas hanya terlihat beberapa orang saja. Termasuk Tina yang pastilah menatap lapangan basket. Lara duduk di depannya dan sedang asyik bicara dengan Debbie. Sesekali Tina mendengar yang mereka bicarakan. Tapi Tina memang tak begitu tertarik dengan topic selain Harry. Tidak sama sekali.
“Bukankah memang mereka sudah putus..?” Lara mengerjap Tina. Tina hanya mendongak malas. Ia menopang dagunya dengan tangan sambil melirik lapangan basket di bawah.
“Memang apa urusanya Grieta dengan Lane..? sampai sampai retak begitu saja.. tapi aku memang tau sejak awal hubungan mereka memang tak akan langgeng” Debbie tak kalah semangatnya.
“Bisakah kalian cari topic lain selain gossip murahan itu..?” Jose datang tiba tiba dari belakang Tina. Debbie dan Lara terkejut. Tina sama sekali tak terlalu memperdulikannya.
“Jose! Kau mengageti kami! Kenapa sih laki laki itu terlalu bikin terkejut..?” Lara melirik Jose kesal.
“Ia.. aku tau! Dan jangan menghina kami seperti itu lagi!” Jose terlihat santai tapi memberikan beberapa penekanan pada kata katanya.
Jose menatap Tina lekat. Ia ingin tau apa yang di pikirkan gadis itu. Jose kemudian melirik ke jendela. Dan melihat dari bawah jendela anak laki laki sedang bermain basket. Jose memperhatikan ekspresi Tina yang berubah ubah. Ia tak terlalu mendengarkan ocehan Debbie dan Lara. Yang ada di pikiranya adalah mencari tau apa yang ada di pikiran Tina. Setelah mengamati dengan seksama, Jose terdiam. Ia seakan tak percaya apa yang baru di sadarinya. Namun ia meyakinkan dirinya, bahwa mungkin saja salah dan hanya kebetulan semata.
“Jose,.. setelah kau pisah dengan Illiana, gebetanmu siapa..?” Lara menatap curiga dan tersenyum senyum memandang Jose. Debbie cekikikan menahan tawa.
“Aku mengincar anak kelas satu yang bernama Melysa Hugh dari kelas 1-5, aku berkenalan denganya ketika masuk ajaran baru.. bagaimana menurutmu..?” Jose menatap ketiga temanya tersebut.
“Aku tak tau mesti komentar apa.. Tina, kau punya pendapat..?” Debbie menyenggol nyenggol Tina dan kemudian sadar dengan keadaannya saat itu.
“Terserah Jose mau dengan siapa.. bukan urusanku..” Tina menjawab asal saja. Tapi sepetinya Jose terlihat kesal dengan kata katanya tadi.
“Sorry Jose.. aku enggak bermaksud buat..”
“JOSE! Kemari sebentar!!” suara itu mengejutkan mereka. Di ambang pintu, Harry melambai kepada Jose. Jose memandang Tina sejenak, dan kemudian pergi menemui Harry. Tina cuma bisa diam terpaku. Tapi kemudian langsung merespon apa yang dibicarakan oleh Debbie dan Lara.
“Bagaimana menurutmu si Harry itu..? ia Cool kan..?” mata Debbie terlihat begitu bersinar ketika menyebut nyebut nama Harry. Tina mulai tertarik dengan pembicaraan itu.
“Kau menyukainya ya..?” Lara melirik Debbie.
“Ia lah! Dia kan yang paling cakep di angkatan kita! Jangan berlaga bego deh! Kau kan juga tergila gila denganya..?” Debbie mencibir Lara.
“Ia sih.. tapi dulu!! Sekarang terlalu banyak saingan! Apa lagi kita kan sudah tau faktanya”. Mendengarnya membuat jantung Tina berdegup kencang.
“Maksud mu..?” Tina berlagak acuh tak acuh dengan pembicaraan, namun dalam hatinya, ia benar benar ingin tau apa yang di maksud “Fakta” itu.
“Hey.. ku kira kau sudah tau Tina? Semua teman Elementry Schoolnya tau akan hal itu! Bahwa Harry Bilshton menyukai Maryeta Henski! Kau kan sangat mengaguminya Tina! Ayolah.. siapa yang mau bersaing dengan Mss. Henski? Sejak di Elementry School, ia murid kebanggaan! Miss Perfect dan baik hatinya. Yah.. kau tau kan.. sekolah sangat menyayangkan ia pindah pada bulan lalu. Dan Harry lumayan terpukul kelihatannya.. siapa laki laki yang mau menolak Maryeta?” Lara menatap kedua temannya dengan serius.
Namun dalam hati Tina sekarang, seolah ada petir besar yang menyambar dan menghancurkannya berkeping keping hatinya. Ia merasa begitu kesakitan. Mendengar Harry menyukai Maryeta yang ia kagumi sekali cukup membuatnya sangat frustasi. Meski Maryeta sudah pergi, tapi jejak Maryeta tentang Harry masih akan selalu ada di hatinya. Tina mulai merasa frustasi.
Ia melangkah gontai di lorong. Murid murid sudah pulang ke rumah. Tina merasa ia tak mampu untuk meninggalkan sekolahnya. Entah kenapa, ia sangat frustasi mendengar perkataan Lara tadi tentang Harry yang menyukai Maryeta. Ia menuju kelasnya untuk duduk di kursinya lagi dan merenung. Ia menatap lapangan basket yang kosong. Ia membayangkan Harry bermain di sana.
“Melamun saja Mss. June? Kau sedang memikirkan apa..?” Jose menatap Tina. Ia cukup mengagetkan Tina, tiba tiba muncul di hadapannya.
“Kau memikirkan siapa..?” Jose seolah sudah tau pikiran Tina.
Tina tersentak. Ia kaget Jose tau ia memikirkan seseorang. Tapi Tina berusaha cuek saja. Memikirkan bahwa Harry menyukai Maryeta membuatnya ling-lung.
“Bukan urusanmu!” jawabnya ketus.
“Aku tau, aku tau orang yang kau pikirkan dan siapa orang itu.. aku tau dengan jelas Tina..” Jose menatap Tina tajam. Ia langsung mengajukan kecurigaannya kepada Tina. Tina tersentak kaget dan menghilangkan lamunannya. Benarkah Jose tau? Mungkin ia salah tebak. Biarkan saja. Dalam hati, Tina sudah siap membuat penyangkalan.
“Bercanda kau..! Kalau memang tau yang ku pikirkan, siapa orang itu? Aku jadi penasaran ingin tau orangnya yag kau tebak!” Tina sedikit khawatir dengan jawaban Jose.
Jose mendekatkan wajahnya ke depan Tina.
“Harry kan..? kau selalu saja memandangnya.. aku baru tau beberapa waktu yang lalu saat kau memandanginya. Ayolah.. aku sahabatnya.. mungkin aku akan membantumu..?” Jose tersenyum lirih dan terlihat licik di mata Tina.
“Salah besar kau mengatakan aku menyukai seseorang, dan aku tau..? aku bahkan tidak kenal siapa Harry itu..” Tina menjawab tegas.
‘Terlambat.. aku sudah mengatakan padanya kau menyukainya.. ia ingin tau siapa kau..” Jose memegangi pipi Tina dengan gemas.
“Jose! Kau tau apa yang barusan kau katakan..?! kau mau membuat aku terkena masalah ya..?! aku benar benar tak menyukainya! Aku bahkan tak mengenalnya!” pipi Tina memerah saking marahnya. Ia takut di ejek dan semacamnya yang membuatnya tidak tenang.
“Tenanglah Tina! Tapi, aku mau mengatakan bahwa kau mesti menyerah, ia menyukai orang lain dari kelas kita, aku tau pasti bukan kau!” Jose mencium pipi Tina dan kemudian beranjak dari kursinya dan pergi meninggalkan Tina sendiri di kelas dengan wajah memerah karena marah. Jose brengsek! Itu pikirnya.
Tina bergegas pulang ke rumahnya. Ia sudah tak tahan ingin menagis di kamarnya. Ketika melihat pintu depan rumahnya, Tina membantingnya keras keras.
“Tina.. sweety.. ada apa..?” Mommy memeluk Tina dan memberikan ciuman selamat datang pada Tina. Ia khawatir dengan anaknya yang datang dengan cara tak lazim.
“Kau tau, pintu rumah bisa copot kalau kau melakukannya setiap hari.. What’s Wrong..?”
“Disaster!!?” Tina menghembuskan nafas marahnya.
“Bencana..? hey.. kau tak boleh bicara seperti itu! Bicaralah baik baik Tina..” Mommy mengusap kepala Tina. Tina berlari begitu saja menaiki tangga ke kamarnya.
“Kau mau makan apa sweety..? Mommy akan membuatkannya..” Mommy mendongak menatap Tina. Tina berhenti sebentar untuk menjawab.
“Anything Mommy!”
“Sweety..?” Mommy menatap Tina dan mendengus kencang.
Tina merasa bebannya menumpuk di kepalanya. Ketika melihat barang barangnya, Tina benar benar tak bisa berpikir lagi. Ia benar benar merasa buram. Ia kesal Jose mengetahui perasaannya. Seenaknya saja dia!. Tina mengamuk di dalam kamarnya. Ia menghancurkan setiap barang barangnya. Mengacak acak lemarinya, memporak porandakan semua alat make-upnya, menghancurkan tempat tidurnya, dan segala yang ada di kamarnya. Tina benar benar kesal dan menangis tersedu sedu. Ia benar benar kesal. Setelah itu Tina berpikir, lebih baik ia menyangkalnya saja sesuai harapannya, dan coba melupakan Harry. Ia benar benar tertekan telah menyukai Harry.
“Tina! Apa yang ku dengar dari Jose itu bohong kan..?!” Debbie mencengkram pundak Tina dengan keras. Tina sudah siap menyangkalnya. Ia tak akan pernah mau jujur.
“Tentang apa sih..?” ia menyingkirkan tangan Debbie.
“Kau! Kau menyukai Harry!” Debbie menatapnya serius. Tina tau ia harus mengatakan apa.
“Are you kidding me..? Funny!” Tina tertawa.
“Serius Tina! Jawab!”
“Jose bercanda! Aku bahkan tak kenal siapa orang itu..? oh! Ya! Orang yang ingin ku ejek itu kan?”
Tina menjawab setengah bercanda dengan Debbie, namun dalam hatinya, ia mulai meraung raung mengatakan kebenarannya.
“Hah.. kupikir Jose serius.. aku benar benar cemas”.
Aku juga cemas!!. Seru Tina dalam hati.
“Lucu sakali membayangkan kau menyukai Harry! Sungguh memalukan! Sukurlah tidak Tina..”
Hatinya selalu sakit bila menjawab pertanyaan semua temannya. Benar benar menyiksa Tina dari setiap sisa hatinya. Ini semua gara gara Jose, pikirnya. Namun ia tau, ia harus melupakan Harry. Ia pikir, Harry sudah tau ia menyukainya dari Jose. Kali ini, Tina benar benar membenci Jose. Baginya ia memang yang paling menyebalkan.
“Haruskah kita mengatakan itu padanya Claude? Ku pikir ia tak akan senang..” Tina mencuri dengar kata kata Mommy di balik pintu. Ia berpikir keras, apa arti percakapan mereka.
“Ku pikir, dia malah menyukainya. Ia kan selalu merasakan menjadi murid baru..”
“Apakah kau masih ingat ketika kita terakhir pindah? Anak itu meraung raung tidak mau pindah! ku rasa ia akan sedih lagi” mendengar itu, meski membencinya, Tina merasa sedikit ada kelegaan.
Ia akan memulai perasaan barunya lagi. Mencoba melupakan Harry.
“Yah.. Tina menyukainya Daddy..” Tina muncul di hadapan kedua orang tuanya.
“Tina.. kau menguping..?” kata Daddy sedikit senang.
“Terserahlah Daddy, yang penting Tina senang mendengarnya” Tina tersenyum senang.
“Benarkan Shannon! Tina menyukainya! Tina.. sweety, kita akan pindah lumayan jauh.. kelihatanya kau akan sedikit memulai belajar bahasa baru.. biar Daddy ingat, kau bisa berbahasa.. Inggris pastinya, Latin, kita memang memakai itu sekarang.. kau tak melupakan bahasa Indonesia mu kan..? itu bahasa nenek mu! Kau bisa Mandarin sweety..?” Daddy menanyakanya dengan lucu.
“Bukan Mandarin Claude! Tapi Jepang!” Mommy mengingatkan Daddy. Pekerjaan Daddy memang harus selalu berpindah, itu sebabnya Tina mempunyai banyak teman dan mudah beradaptasi.
“Apa..? ku pikir kita masih akan pindah di sekitar Jerman saja?” Tina terlihat kaget.
“Kau kan tau, kita selalu berpindah pindah Tina.. hey.. aku tak ingat kita di mana saja selama ini.. biar ku ingat.. Indonesia, aku bertemu Ibumu, Thailand.. yah.. kau belum lahir sweety, Paris.. kau lahir waktu itu.. Athena.. aku lupa kapan.. setelah itu, baru ke Jerman kan Shannon..?” Daddy melirik Mommy yang juga sedang berpikir. Saat itu Tina menyesal ia menyetujuinnya.
“Kau lupa Korea, Claude!” Mommy mengingatkan.
“Kita hanya sebentar di sana Shannon.. tak lebih dua tahun..”
“Aku mau ke kamar..” Tina berjalan gontai. Ia menyesalinya.
Tina sudah terlanjur menyetujuinya. Ia pikir, ia akan bisa melupakan Harry. Hari berkemas pun telas selesai, esok ia dan keluarganya akan pindah ke Jepang. Hari itu terakhir ia sekolah di sana.
“Cattleya June, bisa maju ke depan..?” Ibu Elie melambai Tina. Tina maju ke depan dengan langkah gontai.
“Anak anak, hari ini hari terakhir kalian akan melihat Mss. Cattleya June.. ia besok sekeluarga akan pindah ke Jepang.. memang agak mengejutkan, tapi, jika ia ada salah atau pun masalahnya.. tolong selalu berhubungan dengannya supaya tak kehilangan kontak dengannya ya..?”
Mendengar kata kata Ibu Elie, semua kelas heboh berbisik bisik. Dan tak kalah histerisnya adalah Jose dan Debbie.
“Tina, kau kejam tak mengatakan itu terlebih dahulu kepada kami!” Debbie memeluk Tina erat. Namun Tina benar benar tak perduli lagi. Meski ia memang tak terlalu senang kalau harus berpisah dengan Debbie, sahabat baiknya. Tapi, demi Harry ia sanggup melakukannya. Tak ada kata kata perpisahan yang terucap dari mereka. Tina langsung pergi begitu saja. Meninggalkan kota itu. Ia sudah tak perduli tentang menyatakan perasaannya dengan Harry, ia ingin melupakannya begitu saja. Namun, sesampainya di Tokyo dan menjalani hidupnya, Tina tau, ia tak akan pernah lepas dari Harry. Bayang bayang Harry sebagai pria idamanya selalu melekat di diri Tina. Dalam tidurnya ia kadang mengenang kembali saat saat memandang Harry. Ia tak tau seperti apa Harry sekarang, namun yang pasti, Tina selalu berharap ia akan bertemu dengan Harry lagi. Karena bagi Tina, Harry adalah satu satunya laki laki yang ada di mimpinya.
Mrs. C. Martina J. My Best Friend.
Tina adalah temanku yang bersedia dengan baik baik menceritakan tentang pengalaman cinta pertamanya saat duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Tina memang selalu tinggal berpindah pindah. Setelah 3 tahun di Jepang, Tina pindah lagi ke Inggris mengikuti orang tuanya. Sekarang, ia sudah tercatat menjadi mahasiswa sebuah universitas di Indonesia. Ia tinggal bersama dengan saudara saudaranya yang ada di sini, karena orang tuanya selalu berpindah pindah. Tina memang masih saja melamun membayangkan cinta pertamanya itu.
“Sudah lama aku tak melihatnya. Momennya memang kecil, namun perasaanku saat itu tak akan berubah. Selalu saja sampai sekarang aku masih mengingatnya dengan jelas. Semakin aku melupakannya, semakin ia ada di mataku. Kenangan kenangan yang berharga yang tak aku ceritakan tentangnya memang masih bannyak, namun aku tak mau menceritakannya lebih jauh, karena yang pasti akan membongkar beberapa rahasia lain dari seseorang temanku. Setiap kali aku membayangkan wajahnya, aku selalu rindu akan masa masaku saat itu. Aku ingin mengulang saat saat di mana aku dapat memandangnya lagi dari jendela kelasku. Bagiku, tak ada yang lebih berarti lagi saat itu. Saat itu adalah saat saat yang paling ku inginkan kembali. Aku ingin mengulangnya lagi dan lagi, supaya aku dapat melihatnya lagi dan mengatakan sejujur jujurnya perasaanku. Aku menyesal tak mengatakannya. Harry.. aku ingin berani mengatakannya..”
Tina memang tidak terlalu melankoli, namun sorot matanya saat menceritakan pengalamannya itu sungguh membuatku sangat antusias. Entah apa yang ada di benaknya saat mengatakan hal tersebut, namun, Tina memang jelas masih mengharapkan Harry. Dari cerita Tina, ia memang masih berhubungan dengan Mss. Deborah Patrigg selama dua tahun, dan kemudian berangsur angsur, mereka mulai putus komunikasi karena jarak. Beberapa waktu yang lalu, setelah sekian lama, Tina mendapatkan kontak dari Mss. Laura Morgan. Melalui Lara, Tina mengetahui Debbie pindah dari daerah itu. Lara mengatakan bahwa setelah lulus dari Lower Secondary School, ia tak mendengar kabar apa apa lagi tentang Mr. Harry Bilshton. Harry kelihatannya memilih untuk mengenyam pendidikan lebih jauh. Semua alumni tidak ada yang tau lagi kabar dari Harry setelah kelulusannya. Sedang Mr. Jose Raquell juga melanjutkan sekolahnya ke Belanda. Mereka terpisah, kecuali Lara yang masih menetap di sana.. To give you, I take you in the middle.
“MASIHKAH AKU AKAN MELIHAT MU LAGI SUATU SAAT NANTI ?”
“AKU BENAR BENAR INGIN BERTEMU DENGANMU WALAU HANYA UNTUK TERAKHIR KALINYA”
“HARUSKAH AKU MENGUBUR KENANGAN INI UNTUK MELUPAKANMU?”
“OTAKKU MENGINGINKANKU MELUPAKANMU TAPI HATIKU MENOLAKNYA”
“KETIKA AKU MEMANDANGMU, YANG ADA DI MATAKU HANYALAH KEBAHAGIAAN”
“KENANGAN YANG TAK BERARTI BAGI ORANG LAIN ADALAH KENAN GAN YANG PALING BERARTI BAGIKU”
“AKU MENYESAL MENINGGALKANMU TANPA MENGAKUI AKU MENCINTAIMU…”
From: My friend, Martina CJ.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar